8

1.7K 281 21
                                    

***

Misi ketiga :
1. Lisa dan Heize vs Chanyeol dan Sehun EXO.
2. Stella, IU, Mad Clown, Suga vs B.E.G.
3. Jaeduck vs Jay Park.
4. Jaewon vs LE EXID.
5. Hyuna dan Gray vs BoA dan Yunho.

Sudah tiga kali Jiyong membaca e-mail yang stasiun TV kirimkan padanya. Kini ia tidak bisa lagi mundur. Kini ia harus jadi produser yang membantu kesepuluh orang itu. Memang bukan produser yang harus membuatkan orang-orang itu lagu, bukan juga produser yang harus mengajari para penyanyi profesional itu. Jiyong hanya perlu datang, dua kali– beberapa hari sebelum hari H dan tentu saja saat hari H acaranya, minggu depan.

"Kapan anda bisa datang untuk melihat persiapan para peserta? Bisakah anda datang pada hari Kamis atau Jumat? Karena mereka harus naik panggung di hari Minggu," tanya seorang staff yang sejak awal bertugas untuk menyesuaikan jadwal dengan Jiyong.

Menunda pertemuannya semakin lama tentu akan jadi semakin baik baginya. Ia bisa mengulur-ulur waktu untuk bertemu dengan Lisa dan Stella sekaligus. Ia bisa mengulur waktu untuk melihat Lisa terluka karena pikirannya sendiri. Di dalam studio rekamannya, Jiyong menggaruk tengkuknya sendiri. Tidak gatal dan tidak juga terasa nyaman. Menimbang antara datang di hari Kamis dan melihat Lisa lebih cepat, atau datang di hari Jumat dan menunda melihat Lisa– setidaknya satu hari.

Di tengah timbang-menimbang itu, handphone Jiyong berdering. Nama Lee Jieun tertera di layar handphonenya, namun Jiyong tidak berencana untuk menjawab panggilan itu. Jiyong tahu apa yang akan gadis itu katakan, karenanya ia enggan menjawab panggilan itu. Satu kali Jiyong mengabaikan panggilan Jieun dan bukannya menyerah, Jieun justru meneleponnya sekali lagi. "Ya, Jieun?" jawab Jiyong pada akhirnya, setelah panggilan ketiga.

"Apa oppa sibuk?" tanya Jieun.

"Ya, sedikit, ada apa?"

"Oppa sudah tahu tentang misi ketiga di acara yang aku dan Stella Jang ikuti?" tanya Jieun. "Kalau belum aku ingin memberitahumu kalau minggu depan aku dan Stella eonni harus melawan B.E.G,"

"Ya, aku tahu tentang itu. Baru saja produser acaranya mengirimiku draftnya," jawab Jiyong, yang saat ini masih duduk di studio rekaman dalam agensinya sembari meletakan kepalanya di atas meja. Jiyong tidak ingin membicarakan Stella sekarang, ia tahu Stella akan baik-baik saja apapun yang terjadi. Jiyong tahu kalau Stella sudah jauh lebih dewasa, lebih tenang dibanding dengan Lisa yang sejak tadi menjadi alasan rasa khawatir Jiyong.

"Aku dan yang lainnya berencana untuk makan malam bersama sekarang, memang sudah lewat jam makan malam tapi, apa kau mau ikut? Jaeduck oppa juga ada di sini, kalau-kalau oppa canggung jika hanya ada aku dan Stella eonni," tawar Jieun, bersamaan dengan diketuknya pintu studio rekaman itu.

"Uhm, sekarang?" tanya Jiyong, berencana untuk bertanya apakah Lisa ada di sana atau tidak.

Sembari menelepon, Jiyong bangkit dari kursinya. Pria itu bergerak untuk membuka pintu studio yang ia kunci beberapa waktu lalu. "Jieun, maaf, aku tidak bisa ikut bersama kalian sekarang," tolak Jiyong, begitu ia melihat seorang gadis yang begitu dikenalnya. Lisa berdiri di depan pintu studio rekaman itu, tertunduk namun langsung mengangkat kepalanya begitu menyadari Jiyong telah membuka pintu studionya.

"Tapi Stella-"

"Maaf Jieun, aku harus pergi sekarang, selamat bersenang-senang," potong Jiyong, mematikan panggilan itu secara sepihak, tanpa menunggu Jieun membalas ucapannya. "Kau tidak ikut makan malam bersama yang lainnya?" tanya Jiyong.

Lisa menggeleng. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk mendorong Jiyong ke samping, membuat pria itu mau tidak mau memberinya sedikit jalan untuk bisa masuk ke dalam studio rekaman itu. Lisa duduk di kursi tempat Jiyong duduk sebelumnya. Sementara Jiyong masih diam, menebak-nebak apa yang akan Lisa katakan saat itu, gadis itu justru mengigit ujung kukunya. Terlalu lama dekat dengan Jiyong, membuat Lisa memiliki beberapa kebiasaan pria itu– mengigit ujung kuku salah satunya.

"Aku minta maaf," ucap Lisa, begitu pelan hingga Jiyong tidak yakin dengan pendengarannya sendiri.

"Apa?" tanya Jiyong, sedikit terkejut.

"Oppa terlihat kaget," balas Lisa, yang masih dengan kepala tertunduk kemudian berbisik– "kalau begitu aku akan membuatmu semakin terkejut."

Lisa masih duduk, masih menundukan kepalanya. Sedang Jiyong masih berdiri, masih memperhatikan gerak-gerik Lisa yang tidak bisa ia tebak. Satu-satunya hal yang bisa Jiyong pikirkan sekarang adalah– Lisa akan melakukan sebuah hal gila. Sayangnya, Jiyong tidak mampu menebak hal gila apa yang tengah Lisa rencanakan sekarang. Sejak sembilan tahun lalu Jiyong mengenal Lisa, pria itu memang tidak pernah bisa menebak isi kepala Lisa seolah mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Lisa bilang itu karena perbedaan usia di antara mereka. Namun Jiyong tetap tidak percaya kalau pendapat itu benar.

"Aku ingin berkencan lagi denganmu, oppa," ucap Lisa, begitu tiba-tiba.

Jiyong sama sekali tidak menduga ucapan itu. Pikiran paling liar yang bisa Jiyong pikirkan saat itu adalah Lisa datang untuk memintanya membatalkan kontrak acara. Jiyong pikir Lisa ingin ia membatalkan kontraknya, membatalkan rencananya untuk datang ke acara itu, membatalkan rencananya untuk jadi mentor mereka sebelum hari H misi ketiga.

"Oppa, ayo berkencan lagi denganku," ulang Lisa, masih ketika Jiyong belum bisa mencerna ucapannya tadi. Kini Lisa menatap Jiyong, dengan tatapan tajam khas seorang Lalisa Manoban yang tengah berdiri di atas panggung. Satu-satunya yang bisa Jiyong kenali dari tatapan itu adalah rasa gugup Lisa, namun sampai akhir gadis itu tetap menakan dalam-dalam rasa gugup yang seharusnya ia bebaskan.

Lisa tahu ia tidak bisa menjadi sangat tidak tahu diri seperti ini. Lisa sangat tahu kalau sikapnya sekarang benar-benar sudah keterlaluan. Namun gadis itu tidak bisa berhenti. Di awali dari rasa cemburu hanya karena mendengar Jiyong bicara dengan Jieun, kini ia telah lepas kendali dan tidak lagi bisa berjalan mundur.

"Apa alasannya?" tanya Jiyong, masih berdiri di hadapan Lisa dengan rahang yang mulai mengeras. Ada perasaan tersinggung di sana. Amat tersinggung karena Lisa bisa dengan mudah mengatakan hal itu padanya. Setelah empat tahun mereka putus, bisa-bisanya Lisa mengajaknya kembali berkencan dengan begitu mudah– seolah ia adalah papan monopoli dengan banyak kartu kesempatan di dalamnya.

"Ternyata oppa belum berubah, empat tahun lalu saat kita putus oppa juga menanyakan hal yang sama," jawab Lisa, mati-matian berusaha untuk tetap tenang di hadapan Jiyong yang juga mati-matian menahan marah.

"Kau bilang aku membosankan, kau bilang aku seperti appamu, kau bilang rasanya seperti berkencan dengan appamu," balas Jiyong, menunjukan dengan sangat tegas kalau ia masih mengingat hari paling menjengkelkan sepanjang hidupnya.

"Aku salah," ucap Lisa tidak kalah tegas. Ia telah banyak belajar bagaimana caranya bersikap tegas seperti Jiyong, walau kini ia memakai ilmunya itu di tempat yang salah. "Saat itu aku masih terlalu muda, aku salah mengartikan perasaanku, aku salah memahami situasinya. Apa oppa sedang mengencani seseorang?"

"Kalau iya?"

"Apa oppa sedang mengencani seseorang dan tidak bisa kembali padaku? Kalau begitu campakan dia. Akhiri hubungan kalian, secepatnya."

Jiyong tertawa mendengar ucapan Lisa. Bukan tawa senang apalagi bahagia karena tahu mantan kekasihnya masih menginginkannya. Alih-alih merasa senang karena gadis yang masih ia khawatirkan ternyata belum bisa melupakannya– bahkan setelah empat tahun– Jiyong justru merasa begitu sedih. Apa yang sebenarnya ia lakukan pada Lisa selama sembilan tahun terakhir ini? Sampai gadis yang dulunya begitu manis sekarang berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal– Jiyong bertanya-tanya dalam hatinya sendiri.

"Kenapa aku harus melakukannya?" sinis Jiyong, di tengah-tengah tawanya yang juga sinis.

"Aku tidak suka oppa mengencani wanita lain."

***

HampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang