28

1.7K 275 48
                                    

***

Dengan atasan off-shoulder yang memamerkan bahunya, juga celana jeans dan sepatu kets putih Lisa berjalan masuk ke dalam sebuah klinik kesehatan jiwa. Gadis itu sengaja meninggalkan tasnya di mobil, ia pun meninggalkan handphonenya di sana, mengabaikan sang manager yang sedari tadi menelpon. Seharusnya manager itu yang mengantar Lisa menemui psikiaternya, namun Lisa bersikeras untuk pergi sendirian.

Gadis itu memasuki ruang perawatannya, sebuah ruang kerja dengan sofa dan kursi-kursi nyaman di salah satu sisinya, berseberangan dengan meja kerja di sisi lainnya. Begitu memasuki ruangan tersebut, Lisa tersenyum kepada dokter wanita yang masih duduk di meja kerjanya. Gadis itu menunjuk sofa biru yang ada di sana, kemudian duduk di sana setelah sang dokter mengiyakannya. Dokter itu perlu waktu untuk melihat beberapa berkas sebelum menemui Lisa.

"Aku tidak bisa pergi ke rumah sakit, bukan karena fans tapi karena aku tidak nyaman untuk pergi kesana. Jadi Dokter Lee merujukku kesini," ucap Lisa dan wanita yang ia ajak bicara lantas menganggukkan kepalanya. Ia sudah tahu cerita itu, ia juga sudah menerima semua file yang sebelumnya dibuat Dokter Lee Shijoon. "Apa aku harus menceritakan semuanya dari awal?"

"Kalau anda menginginkannya, silahkan menceritakannya," jawab sang wanita yang kini duduk di sofa lain, di hadapan Lisa.

Sebenarnya melelahkan, berganti-ganti dokter dan mengulang semua ceritanya dari awal. Lisa harap wanita di depannya ini bisa menjadi dokternya yang terakhir, Lisa harap klinik psikiatri yang ia datangi hari ini bisa jadi tempat terakhir yang mampu membantunya. Lisa harap, ia bisa segera sembuh dan berhenti datang ke klinik-klinik seperti ini.

"Jadi menurutmu aku sudah berubah atau belum?" tanya Lisa, di akhir ceritanya.

"Saat kau melakukan hal baik, kemudian seseorang mengatakan 'sejak dulu kau memang begitu' bukankah itu artinya kalau sejak dulu kau memang baik?" tanya sang dokter, membuat Lisa melihat apa yang tidak terlihat selama beberapa terakhir.

"Ah... benar juga," komentar Lisa kemudian. "Berarti menurutnya aku memang baik. Aku tidak memikirkan itu sebelumnya," gumam gadis itu yang kemudian melirik jam di pergelangan tangannya. Sesi konselingnya sudah habis sejak lima belas menit lalu namun sang dokter tidak menyela ceritanya dan Lisa sangat berterimakasih karenanya. "Dokter Ji, sesiku sudah habis sekarang, tapi boleh aku menanyakan satu hal lagi?" tanya Lisa sembari melirik beberapa lembar tisu yang sudah terlipat, basah dan sobek di atas meja di antara mereka. Ada banyak air mata yang menemani cerita hidup Lisa hari ini.

"Silahkan bertanya," balas sang dokter, dengan lembut seolah ia telah memberi seluruh perhatiannya, seluruh hidupnya kepada Lisa, kepada pasiennya. "Apa sangat salah kalau aku berubah demi orang lain?"

"Menurutku itu bukan masalah," jawab sang dokter. "Apapun alasanmu berubah, untuk siapapun kau berubah, dirimu atau orang lain, selama perubahan itu membawamu ke tempat yang lebih baik, selama perubahan itu membuat jiwamu merasa tenang, tidak apa-apa kalau kau berubah demi orang lain."

"Aku merasa lebih gugup dan khawatir sekarang, tapi di waktu yang bersamaan aku juga merasa tenang. Awalnya aku membenci banyak orang. Menjadi trainee, lalu debut, kemudian bertemu fans, haters, reporter, staff– aku bertemu banyak orang– membuatku merasa berada di tempat yang sangat kecil. Aku benci semua orang yang membuat tempatku jadi semakin kecil, mereka membuat tidak ada teman yang bisa berkunjung ke tempatku berdiri, tidak ada teman yang mau menemaniku. Rasanya seperti aku berdiri di tengah-tengah keramaian dan semua orang mengarahkan pistolnya ke padaku. Di antara orang-orang berpistol itu, ada teman-temanku, ada keluargaku, ada orang-orang yang ku sayangi, mereka ingin mendekat padaku, tapi mereka takut tertembak oleh orang-orang berpistol. Lalu sekarang perasaanku berubah. Aku tidak lagi berfikir kalau 'seluruh dunia tidak adil padaku' aku tidak lagi menyalahkan orang lain, aku justru menyalahkan diriku sendiri. Orang-orang di sekitarku tidak menghindariku karena pistol-pistol yang ditodongkan padaku. Mereka menghindariku karena sikapku sendiri, karena aku yang terlalu kaku, terlalu berlebihan dan sering ada di luar kendali. Aku sangat khawatir karena ternyata aku lah penyebab masalah dalam hidupku sendiri. Tapi disaat yang bersamaan aku juga merasa tenang, karena aku sudah tahu masalahku dan aku sudah tahu kemana aku harus pergi untuk mengatasi masalahku."

"Kalau begitu siapapun yang jadi alasanmu berubah rasanya tidak penting lagi, kau berubah untuk bisa diterima oleh orang-orang di sekitarmu dan apa yang salah dengan itu? Aku setuju kalau seseorang harus hidup seperti apa yang ia inginkan, menjadi dirinya sendiri dengan penuh rasa percaya diri, tapi manusia tetap harus menyesuaikan diri, harus berbaur dan merasa diterima oleh orang-orang di sekitarnya, dengan begitu manusia baru bisa bertahan. Kalau kita bisa hidup dengan menjadi diri sendiri, melakukan segalanya untuk diri sendiri dan diterima oleh orang lain, bukankah hidup yang seperti itu menyenangkan? Seimbang."

Konseling hari itu berakhir. Lisa selesai dengan pembicaraannya dan ia pun sudah mengatur jadwal untuk konselingnya yang berikutnya. Dengan senyum penuh kebanggan seolah ia sudah melangkah lebih dekat pada kesembuhan yang diidamkannya,  Lisa melangkah masuk ke dalam mobilnya. Setibanya di mobil, Lisa meraih handphonenya. Ia ingin menghubungi Jiyong, menceritakan bagaimana rasa kecewanya semalam sampai perasaan itu kini berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Ia sempat salah paham semalam– walaupun kesalahpahaman itu tidak lantas membuatnya hilang kendali di rumah Dami.

Sayangnya, rencana itu berubah. Lisa merubah rencananya untuk menelepon Jiyong karena ternyata managernya sudah menelepon lebih dari dua puluh tiga kali selama hampir tiga jam. Sepertinya ada masalah, pikir Lisa karena banyaknya panggilan itu. Akhirnya ia menelepon sang manager, mengatakan kalau ia sudah selesai konseling dan kan segera menemuinya sekarang. "Kau baik-baik saja kan?" ucap sang manager begitu Lisa selesai bicara.

"Ya, aku baik-baik saja, aku baru selesai konseling dan Dokter Ji benar-benar baik, aku tidak mau pergi ke dokter lain lagi," cerita Lisa sembari mengemudikan mobilnya. "Apa yang terjadi? Apa sesuatu terjadi pada Jisoo eonni? Aku harus kemana sekarang?"

"Pergi saja ke agensi, akan ku beritahu begitu kau sampai disini," ucap sang manager karena khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi kalau Lisa mendengar kabar buruknya sekarang. Khawatir Lisa akan terlibat dalam sebuah kecelakaan.

"Baik, kalau begitu sampai ketemu di agensi. Aku ingin menelepon Jiyong oppa sebentar," balas Lisa yang tanpa pikir panjang segera mematikan panggilan itu kemudian menelepon Jiyong.

Lisa harus menunggu sampai dering kelima untuk mendengar suara Jiyong. Entah apa yang sedang Jiyong lakukan saat itu, namun suaranya terdengar tergesa-gesa. "Apa yang sedang oppa lakukan? Sedang terburu-buru? Kalau begitu aku hanya perlu bicara sebentar, maaf karena kemarin aku salah paham, aku sempat kecewa karena- oppa, tunggu sebentar," ucap Lisa, memotong sendiri ucapannya karena di persimpangan, ia melihat sebuah berita yang baginya begitu mengejutkan.

Lalisa Manoban Curangi G Dragon dalam Acara Ragam– begitu judul beritanya, terpampang sangat nyata, sangat besar di layar besar pada dinding luar pusat perbelanjaan. Biasanya hanya berita politik dan bencana yang disiarkan di sana, namun kali ini nama Lisa tertulis di sana. Dalam berita itu, sang penyiar berita mengatakan kalau Lisa menyuap para panelis, memberi mereka– yang notabenenya adalah penyanyi hip hop profesional– layanan seks demi selisih satu poin untuk mengalahkan G Dragon.

"Lisa? Kau dimana sekarang?" tegur Jiyong, karena dari panggilan itu ia bisa mendengar suara klakson beberapa mobil. Yang awalnya ingin berhenti untuk menaati lampu lalu lintas, kini gadis itu justru mengabaikan lampu hijau yang sudah sedari tadi menyala.

"Dekat klinik Dokter Ji-"

"Tetaplah di sana, aku akan ke sana sekarang. Jangan keluar dari mobil-"

Jiyong melarang Lisa keluar dari mobilnya, namun gadis itu tidak mendengarnya. Tanpa membawa handphone yang sekarang terhubung dengan pengeras suara di mobilnya, gadis itu keluar dari mobil. Rasa marah juga perasaan tidak adil memenuhi isi kepalanya, memenuhi dirinya. "Aku tidak melakukan itu," gumamnya, berulang-ulang sembari menatap layar besar di persimpangan jalan itu. "Aku tidak curang. Aku tidak melakukannya."

Hal terakhir yang Jiyong dengar adalah sayup-sayup suara roda mobil yang berdecit kemudian menabrak sesuatu dengan keras dan jeritan beberapa orang di tepi jalan.

***

HampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang