***
"Kenapa pulang sekarang?" tanya Jisoo, karena Lisa tiba-tiba saja menghampirinya di toilet kemudian mengajaknya untuk pulang. "Aku belum selesai. Masih ada tiga puluh menit lagi sebelum waktunya bersiap-siap bekerja," ucap Jisoo namun Lisa yang tidak mau mendengarkan tetap merangkul Jisoo kemudian mengajaknya untuk pulang. Lisa tidak ingin Jisoo mendengar si pink dan si hitam yang sekarang berdebat. Si hitam setuju dengan ucapan Lisa, namun si pink masih saja mencari-cari alasan kalau menghina si hamil sebelum menikah adalah hal yang benar.
"Aku lapar," rengek Lisa. "Aku ingin roti panggang di dekat gerbang depan. Ayo beli roti panggang dan kopi pagi disana...." ajak gadis itu tidak mau menyerah. Mereka masih berkeringat, masih memakai celana dan baju olahraga masing-masing namun keduanya sudah lebih dulu sepakat untuk mandi di apartemen masing-masing.
Sembari bergandengan seperti sepasang sahabat karib yang sudah berteman sejak lahir, keduanya melangkah ke truk makanan di dekat gerbang depan komplek apartemen itu. Mereka berjalan di trotoar, menikmati siraman matahari pagi yang hangat dan menenangkan. Sampai di tengah langkahnya, Jisoo bertanya– "kau tidak ingin aku mendengar obrolan mereka kan? Tentang hamil,"
"Tidak," singkat Lisa. "Aku yang tidak ingin mendengar mereka terlalu lama."
"Terimakasih," balas Jisoo. "Terimakasih karena sudah merubah cara berfikirmu untukku, aku mendengar ucapanmu pada mereka tadi,"
"Aku tidak tahu cara berfikirku benar atau salah, aku juga tidak bisa bilang kalau aku selalu benar. Tapi satu hal yang ku pelajari selama ini adalah... Senjata paling hebat di dunia ini ternyata bukan pistol atau racun, tapi mulut manusia. Mulut manusia adalah pembunuh sebenarnya. Sumber mala petakanya," ucap Lisa sembari menolehkan kepalanya, menatap Jisoo yang tengah mendengarkannya. "Aku keren kan?" canda gadis itu, membungkus keresahannya sendiri dengan tawa yang sama sekali tidak terdengar tulus.
Satu jam setelahnya, Lisa menghela nafasnya sendiri. Kini gadis itu ada di rumahnya sendiri. Ia baru saja menutup pintu apartemennya kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh wajahnya– seolah ia tengah melepaskan topeng yang sedari tadi di pakainya. Ia basuh wajahnya dengan air, mengusapnya sekali, dua kali, berkali-kali sampai topeng yang sebelumnya ia pakai kini benar-benar terlepas. Kini tidak ada lagi senyum di wajahnya. Raut mukanya datar seperti raut-raut mengerikan dalam mimpinya.
"Kenapa kau sangat hebat dalam menghibur orang lain? Kenapa kau justru tidak bisa menghibur dirimu sendiri?" ucap Lisa, kepada bayangan dirinya sendiri di cermin. "Kau benar-benar palsu," tuduhnya, masih kepada dirinya sendiri.
"Tapi kau harus terus jadi palsu, agar tidak ada orang yang meninggalkanmu lagi, kau takut kesepian, kau takut sendirian, kau takut ditinggalkan," kali ini suara orang lain. Suara orang yang tidak Lisa kenal, namun tetap familiar di telinganya– suara isi kepalanya sendiri. Bisikan-bisikan gila yang hampir setiap saat berusaha untuk merebut dirinya. Bisikan-bisikan mengerikan yang selama ini berusaha untuk menguasai tubuhnya. Suara-suara yang menyuruhnya untuk terus mendesak Jiyong agar mau kembali bersamanya, juga suara yang menyuruhnya untuk bekerja sama dengan Suga.
Suara itu bukan suara dari kepribadian Lisa yang lain, bukan juga suara dari roh jahat yang ingin menguasai tubuh Lisa. Suara itu adalah suara Lisa, suara keresahannya, suara ketakutannya, suara dari depresi yang tidak bisa ia bebaskan. Suara itu adalah bentuk pertahanan dirinya atas tekanan yang selalu menghampirinya. Suara itu adalah respon alami atas semua hal yang menjadi bebannya.
Hapus prasangka kalau stres hanya akan melahirkan depresi yang membuat penderitanya menarik diri dari lingkungan, menyendiri, menangis, susah tidur dan mencoba bunuh diri. Tidak harus begitu. Untuk beberapa orang– terutama mereka yang masuk dalam jebakan maskulinitas– stres bisa melahirkan depresi yang membuat penderitanya terus merasa marah, merasa harus melampiaskan emosinya kepada orang lain, merasa harus menyakiti orang lain karena itu lebih mudah dibanding meminta bantuan. Orang-orang seperti mereka– yang merasa menyakiti orang lain lebih mudah di banding meminta bantuan– sebenarnya diam-diam berharap kalau akan ada orang bodoh yang mau menerima mereka apa adanya. Berharap akan ada orang naif yang sudi menjadi pelampiasan stres mereka. Ironisnya, beberapa orang memang bisa sebodoh dan senaif itu hanya untuk cinta.
Pagi ini Lisa bersama Jisoo, lalu di siang harinya gadis yang berhasil mengalahkan Chanyeol dan Sehun itu pergi menemui Rose di lokasi syutingnya. Rose punya jadwal syuting acara ragam hari ini. Gadis bersuara merdu itu akan bersaing dengan beberapa penyanyi lain demi mendapat kesempatan berduet dengan Gummy.
"Selamat siang, eonni," sapa Lisa, mengejutkan Rose dengan tiba-tiba muncul di celah pintu ruang tunggunya.
"Ya! Lisa!" seru gadis yang hampir dua minggu ini mengabaikan Lisa. Rose kesal karena Lisa harus bernyanyi dengan Heize untuk mengalahkan Chanyeol. Rose kesal karena Lisa terlihat dekat dengan Heize. "Apa ini?!" seru gadis itu. Rose meraih sebelah tangan Lisa, memeganginya kemudian menunjukkan layar handphonenya. Di layar handphonenya itu ada foto yang baru saja Yook Sungjae unggah. Foto Lisa bersama Sungjae juga Gummy di depan sebuah truk makanan dengan gambar wajah Rose di atasnya.
"Handphone?"
"Heish! Foto apa ini?!"
"Ahh... Fotoku, dengan Sungjae oppa dan Gummy eonni, aku cantik kan? Aku terlihat manis dan sangat baik hati, iya kan?"
Lagi-lagi Rose mendengus. Bukan itu yang ingin Rose dengar. Rose ingin tahu maksud Lisa membawa sebuah truk makanan ke lokasi syutingnya. Rose tahu kalau Lisa membawa truk makanan itu agar para staff dan semua rekan kerjanya bersikap baik padanya. Aku sudah memberi kalian makanan, jadi tolong perlakukan Rosieku dengan baik– Rose sangat tahu maksud Lisa itu, namun kondisi mereka saat itu tidak sedang baik-baik saja jadi Rose sedikit curiga kalau-kalau Lisa punya maksud lain dengan kedatangannya.
"Tentu saja aku punya maksud lain!" seru Lisa, setelah ia mengembalikan handphone Rose kemudian mengeluarkan sebuah roti isi dari tas jinjing yang ia bawa. "Aku ingin kita berbaikan, jadi aku kesini dan membawa semua itu," jelas Lisa dengan wajah yang sengaja ia buat semanis mungkin. Dengan raut manis itu, ia ulurkan tangannya, memohon agar Rose mau menerima roti isi serta permintaan maafnya.
"Aaa~ Lisa!"
"Maaf, aku benar-benar minta maaf, aku tidak bisa memusuhi Heize eonni, dia memperlakukanku dengan baik. Tapi aku juga tidak mau bertengkar denganmu, kau juga memperlakukan dengan baik," rajuk Lisa, membuat Rose tidak punya pilihan lain selain memaafkan teman seperjuangannya itu.
"Augh! Kau benar-benar rakus!" seru Rose, menerima roti isi pemberian Lisa juga permintaan maaf gadis itu.
"Maaf karena aku rakus," balas Lisa dan Rose yang menganggukan kepalanya lantas merangkul Lisa, memeluk gadis itu dan benar-benar berbaikan dengannya.
Seandainya ia bisa melakukan hal yang sama pada Jiyong, mungkin Jiyong tidak akan menghindarinya. Sayangnya, Lisa terlalu malu untuk memperlakukan Jiyong seperti ia memperlakukan Rose.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hampir
Fiksi PenggemarApa kata yang paling menyedihkan di dunia? Hampir. Aku hampir cukup baik. Dia hampir mencintaiku. Aku hampir bisa. Kita hampir berhasil. Kita hampir bertahan.