***
Setelah seharian bekerja di studionya, Jiyong berencana untuk bertemu dengan Lisa. Awalnya Jiyong terperangkap dalam dua hal, pertama ia tidak ingin merasakan lagi sakit seperti saat Lisa meninggalkannya. Kedua, ia ingin merasakan lagi cinta yang pernah membahagiakannya. Tapi kini Jiyong mulai tahu caranya melarikan diri dari perangkap itu. Kini pria itu tidak berusaha keras mendorong Lisa seperti sebelumnya. Dengan hati-hati ia mulai membuka lagi dirinya untuk gadis itu.
Jiyong masih belum yakin dengan keputusannya. Ia sendiri ragu, apa dekat dengan Lisa sekarang akan membantu gadis itu atau justru memperparah keadaannya. Satu hal yang Jiyong yakini- ia tidak bisa berharap Lisa akan selalu baik, manis dan penuh cinta. Jiyong yakin kalau akan ada waktu di mana ia harus melihat Lisa kembali kacau, kembali sedih, kembali bersikap irasional. Lalu, karena keyakinannya itu, ia tidak banyak menaruh harapan pada Lisa.
"Oppa akan menemui Lisa?" tanya Jennie, setelah ia melihat handphonenya dan membaca pesan dari Lisa. Apa Jiyong oppa masih di studio?- tulis Lisa dalam pesan yang ia kirim ke Jennie malam ini. "Kenapa kalian harus bertemu?" tanya Jennie sekali lagi, setelah ia melihat Jiyong menganggukan kepalanya.
"Hanya makan malam," jawab Jiyong. "Aku berjanji akan mentraktirnya makan malam karena ia menang minggu lalu. Hari ini acaranya akan disiarkan. Kau belajar saja sendiri, bagian outro lagumu perlu diperbaiki. Hubungi produser lain kalau kau butuh bantuan. Aku berencana menginap di rumah Dami malam ini, aku ada janji lain dengan Minjoon hyung juga, jadi jangan menghubungiku," tegas Jiyong sedang Jennie justru menutup laptopnya. Tentu Jennie tidak kesal karena Jiyong meninggalkannya di tengah-tengah pelajaran penting itu. Jennie kesal karena di matanya Jiyong terlihat tengah mempermainkan Lisa.
"Kau menolaknya berkali-kali, kau mengabaikannya, kau bahkan memaki di depannya," ucap Jennie, melontarkan apa yang diketahuinya dari Lisa selama beberapa waktu terakhir. "Oppa, apa kau mencoba untuk membalas Lisa? Karena dia pernah meninggalkanmu, sekarang kau bersikap seperti ini? Tidak bisakah kau menolak dan menjauhinya saja, atau menerimanya saja? Kenapa kau justru mempermainkannya begini?"
"Dia bermasalah, dia sakit," jawab Jiyong, tanpa berharap Jennie akan memahami jawabannya.
"Lalu? Kalau kau mencintainya, bukankah kau harus menerima masalah itu? Kau harus menerima semua kekurangan dan kelebihan gadis yang kau cintai, kalau kau benar-benar mencintai Lisa, kau harus menerima kekurangannya."
Tidak ada manusia yang punya kekurangan, pikir Jiyong. Manusia hanya punya segudang masalah dalam hidupnya, dan orang-orang senang melabeli masalah itu dengan kekurangan, karena mereka berfikir masalah itu tidak akan pernah bisa di perbaiki. "Daripada membuang banyak tenaga untuk memperbaiki masalah, labeli saja masalah itu dengan kekurangan, lalu terima mereka. Mudah kan? Tidak, yang seperti itu tidak mudah, yang seperti itu hanya akan jadi bom waktu suatu saat nanti. Aku akan bertemu dengan titik muakku kalau aku terus membiarkan Lisa dengan kekurangannya."
"Jadi oppa hanya ingin wanita sempurna? Oppa menganggap dirimu sempurna ya? Kalau oppa menuntutnya untuk sempurna maka kau juga harus begitu. Oppa menyuruh Lisa berubah, apa itu cinta? Kau menyulitkannya! Dia sampai berurusan dengan Suga hanya untuk mendapatkanmu kembali! Dia melakukan banyak hal gila hanya untukmu!"
"Karena itu," tenang Jiyong. "Karena itu aku belum menerimanya. Karena dia melakukan banyak hal gila hanya agar aku kembali padanya. Aku bukan pusat rehabilitasi yang sudi menerima orang gila untuk keluar masuk dalam hidupku. Lisa tahu itu dan dia mau berusaha mengatasi masalahnya, karena itu aku membiarkannya perlahan-lahan masuk lagi dalam hidupku."
Rencana Jiyong malam ini adalah menjemput Lisa di pukul delapan, makan malam bersama sampai jam sepuluh kemudian mengantar Lisa pulang dan pergi minum wine ke rumah Dami. Jiyong tiba di depan apartemen Lisa tepat jam delapan malam, sesuai janjinya. Ia menunggu di mobilnya, namun yang ditunggu tidak kunjung keluar. Jiyong sudah mengiriminya pesan– kalau ia menunggu di luar– tapi tidak ada balasan apapun dari Lisa. Satu-satunya yang dapat Jiyong lihat adalah siluet gadis yang berjalan mondar-mandir, melempar barang kemudian duduk di depan jendela. Kira-kira tiga puluh menit Jiyong menonton siluet marah itu dari mobil tempatnya duduk.
"Aku di bawah, kau ingin aku naik?" tawar Jiyong, setelah ia menjawab panggilan dari Lisa.
"Ku pikir oppa sudah pergi," ucap gadis itu yang langsung membuka teleponnya dan melihat mobil Jiyong ada di depan gedung apartemennya. "Aku akan segera kesana,"
"Ya, aku akan menunggu jadi pelan-pelan saja," jawab Jiyong. "Jangan sampai jatuh," susul pria itu karena teringat bagaimana Lisa jatuh di taman dekat rumahnya tempo hari.
Kini Jiyong mematikan panggilan itu. Ia mulai bimbang, haruskah ia bertanya atau berpura-pura tidak melihat apapun? Haruskah ia bersikap seolah tidak terjadi apapun dan menunggu Lisa memberitahunya? Atau sebaliknya. Jiyong tidak benar-benar yakin sampai ia melihat Lisa datang dengan kaki yang sedikit pincang. Gadis itu memakai sandal datar berwarna hitam dengan darah yang bercak mengikuti setiap langkahnya, membuat jejak agar seseorang bisa menemukannya.
"Telapak kakimu terluka? Kenapa?" tanya Jiyong, yang sekarang mengulurkan tubuhnya untuk mencari kotak obat di laci dasbornya, di depan Lisa yang sudah duduk di kursi penumpang bagian depan.
"Aku tidak sengaja menjatuhkan gelas dan menginjaknya. Ku pikir aku punya kotak obat di rumah, tapi ternyata obatnya sudah kadaluarsa. Aku tidak ingat kapan terakhir memakai obat-obatan itu," jelas Lisa, yang tanpa di minta langsung mengulurkan kakinya agar Jiyong bisa melihat dan mengobati luka di bawah ibu jarinya.
Lisa duduk menyamping di kursi penumpang. Gadis itu bersandar pada pintu yang tertutup rapat, kemudian menaruh kakinya yang terluka di atas pangkuan Jiyong. "Jangan bersandar ke pintu," tegur Jiyong, khawatir Lisa akan jatuh kalau pintu di belakangnya tidak sengaja terbuka. "Hanya ini yang terluka?" tanya Jiyong, tidak begitu peduli pada Lisa yang sedang menahan perih karena iodine yang menyentuh lukanya. Iodine berwarna kecoklatan itu berbaur dengan sisa darah yang mulai membeku, membuat campuran warna yang tidak menyenangkan dan harus ditutup plaster untuk menyelamatkan sisa keindahan pemiliknya.
"Hanya itu," ucap Lisa, akhirnya ia bisa bernapas lega karena Jiyong sudah selesai dengan kakinya. Lisa merubah posisi duduknya, menarik kakinya menjauh dari paha Jiyong sedang si pria itu justru membuka jendela di sebelahnya. Ia mengambil beberapa lembar tisu dalam mobilnya, kemudian membasahinya dengan air yang ia bawa dari studio tadi. Beberapa tetes air itu tumpah ke jalanan di luar jendela sementara ia memberikan tisu yang basah tadi pada Lisa. Ia menyuruh Lisa membersihkan kaki juga sandalnya yang sempat kena noda darah tadi. "Oh? Oppa bisa melihat apartemenku dari- apa oppa melihatku tadi?" tanya Lisa, yang baru saja menyadari posisi mobil Jiyong ketika ia mengangkat kepalanya usai mengelap sandalnya.
"Aku bisa berpura-pura tidak melihat apapun kalau memang itu yang kau inginkan. Aku juga bisa bertanya kalau kau ingin begitu," balas Jiyong, yang sekarang mulai menyalakan mesin mobilnya, hendak menjauhi gedung apartemen Lisa, namun mobilnya justru berpapasan dengan mobil Mino di dekat gerbang komplek apartemen itu.
"Tadi Jisoo eonni bertemu dengan Suga," cerita Lisa dengan kepala yang tertunduk. "Mino oppa memarahiku karena ia pikir aku yang merencanakannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku benar-benar tidak tahu kalau Jisoo eonni pergi menemui Suga dan aku jadi sangat marah saat mengetahuinya."
"Resep doktermu tidak bekerja hari ini?" tanya Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya. Mungkin karena ia terlalu marah, hingga kantung plastik kuning itu tidak mampu menahan emosinya malam ini. "Sekarang sudah merasa lebih baik?" tanya Jiyong dan lagi Lisa menganggukan kepalanya. "Kalau begitu, kau mau pergi ke rumah Dami noona? Dia mengundangku untuk makan malam di sana," susul Jiyong karena Lisa hanya menganggukan kepalanya. Ia merubah sedikit rencananya hanya agar Lisa bisa merasa lebih baik.
"Suami Dami eonni ada di sana?" tanya Lisa, seperti yang Jiyong duga.
"Ya, kau akan mati kalau marah dan mengamuk di sana, Minjoon hyung sangat menyeramkan,"
"Aku tidak bisa menolak kan?" balas Lisa. "Kita akan kembali ke rumahku kalau aku menolak, iya kan?" tanya Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya, membuat Lisa mau tidak mau ikut bersama Jiyong karena ia tidak ingin pulang ke rumahnya yang berantakan sekarang.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Hampir
FanfictionApa kata yang paling menyedihkan di dunia? Hampir. Aku hampir cukup baik. Dia hampir mencintaiku. Aku hampir bisa. Kita hampir berhasil. Kita hampir bertahan.