Begitu dosen yang mengajar kelas pagi hari ini menyudahi perkuliahan, Vika langsung memutar tubuh ke arahku, "Eh, Genetika kita bolos aja yuk! Gue masih belum siap-siap nih! Sepatu gunung gue ternyata berdebu banget. Mau gue laundry dulu. Bisa nggak sih, ditungguin berapa jam doang gitu?!"
"Gila, absen Gene gue udah bolong sekali. Ogah ih! Jatah bolos gue, mau gue pakai buat minggu depan aja. Siapa tau balik dari Merbabu gue perlu bed rest seminggu." tolakku dengan gelengan tegas.
"Vik, ke Amplaz aja yuk! Di sana ada stand buat laundry sepatu. Bisa ditunggu sejam doang. Gue pernah laundry sepatu di situ. Bersih kok, murah juga!" Alesia yang doyan membolos, langsung menanggapi usulan Vika dengan penuh suka cita.
"Di sebelah mananya sih?!" tanya Vika.
"Yang di depan Gulu-Gulu itu kan?! Ngerti gue!" sahutku.
Alesia mengangguki kalimatku. "Iya, bener. Stand-nya warna putih. Gue lupa namanya apa."
Kening Vika masih saja mengerut bingung. "Hah, sejak kapan di Amplaz ada Gulu-Gulu?!"
"Wah, parah lo! Udah lama banget kali! Lo tau Chatime kan? Nah, depan Chatime kan ada stand McFlurry, sebelahnya McFlurry ada Gulu-Gulu. Terus sampingnya baru stand buat laundry sepatu." Jelasku lengkap dengan gerak tanganku yang menggambarkan posisinya di udara. "Lo ngerti Pempek yang deket Chatime itu kan?"
"Ohhh... Ngerti gue! Yang di sampingnya HokBen kan?" sahut Vika.
"Nah, iya! Stand sepatunya di depan HokBen."
"Kalau ngomongin Amplaz mah, Tyra jagonya. Dia bahkan hafal setiap stand yang ada di Amplaz. Sedetail itu! Udah berasa lagi ngobrol sama security Amplaz nggak tuh?" Ledek Lira yang ternyata ikut menyimak juga.
Aku mengendikkan bahuku penuh kesombongan. "Yah, sori guys, Amplaz itu rumah kedua gue. Tiap hari gue makan di sana. Jadi ya wajar, gue hafal setiap detailnya."
Tentu saja itu hanya bualanku. Aku belum sekaya itu untuk menghabiskan uang di mall setiap hari. Memang benar hampir setiap hari aku ke Amplaz. Paling aku hanya nongkrong di Burger King, membeli menu paling murah, lalu berkeliling di Gramedia dan Watson. Kalau sedang ada sesuatu yang menarik, akan kubeli. Kalau tidak, ya hanya melihat-lihat.
"Ya iyalah, orang kosan lo di belakang Amplaz! Lo kepleset dikit juga langsung sampai!" sahut Vika sengit.
"Ayo Vik, ini matkulnya Bu Asta skip aja lah! Kita ke Amplaz yuk!" Alesia tersenyum lebar sambil menaik turunkan sepasang alisnya.
Ini adalah hari Kamis. Rencananya besok jam 5 pagi, kami akan berangkat ke Boyolali untuk mendaki Gunung Merbabu via jalur Selo. Sebenarnya pertama kali ide ini tercetus, karena tiga dosen yang seharusnya mengajar besok, meliburkan perkuliahan, dan menggantinya di hari lain. Dengan alasan bosan di kos selama libur tiga hari, akhirnya Rangga dan Vika mencetuskan untuk mendaki Gunung Merbabu.
Sejujurnya mendaki di minggu-minggu perkuliahan biasa begini agak beresiko. Saat mendaki Gunung Prau kemarin, kami memanfaatkan liburan setelah UAS semester 2. Sehingga sepulang dari gunung, bisa istirahat total untuk tidur selama seminggu penuh dengan sekujur tubuh dibalut koyo.
Tanpa memedulikan itu semua, kami tetap nekat berangkat ke Merbabu karena rasa rindu kami pada gunung sudah meronta-ronta. Meski bukan pendaki profesional, pengalaman mendaki Gunung Prau berhasil membuat kami jatuh cinta pada gunung. Ya, semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi, sehingga kami bisa kembali dengan selamat.
"Nggak seru lah, kalau cuman berdua! Ayo Tir, lo ikut juga kenapa sih?! Gue traktir Gulu-Gulu deh! Tapi jangan yang premium!" Vika terus membujukku penuh harap.
KAMU SEDANG MEMBACA
MERBABY
Teen FictionKatanya, kalau pengin tahu gimana sifat asli seseorang, ajaklah orang itu mendaki gunung. Padahal Tyrandra tidak pernah tertarik dengan Adam, apalagi sampai kepengin tahu bagaimana sifat asli Adam. Namun, tanpa disengaja, mereka berada dalam satu k...