Rencana kami untuk summit jam 3 pagi batal. Seharusnya tidak perlu heran kenapa bisa batal. Bahkan sejak awal aku sudah sangsi duluan bisa mulai summit jam segitu. Bukan karena aku nggak yakin bisa bangun jam segitu, hanya saja angin yang terlalu kencang menyebabkan suhu jadi lebih dingin sampai menusuk tulang. Sudah masuk ke dalam sleeping bag saja, aku sudah kedinginan banget, apalagi kalau mau summit ke puncak.Aku tidak bisa tidur. Berkali-kali aku terbangun dengan posisi tidur yang sangat tidak nyaman. Terlebih angin menerpa tenda sangat kencang, dan berhasil menembus masuk ke dalam sela-sela tenda. Membuatku semakin kedinginan tidak karuan.
Seingatku saat di Prau suhunya tidak sedingin ini. Di Prau suhunya mencapai 16 derajat, sedangkan suhu saat ini, menurut ponselku mencapai 14 derajat. Tapi kenapa aku merasa kalau ini seperti 0 derajat yang berhasil membekukan sekujur syarafku?
Aku heran, kenapa teman-temanku yang lain bisa tidur nyenyak. Tadi jam 11 malam, kami masuk ke tenda masing-masing karena suhu semakin dingin, dan khawatir gasnya habis kalau kompornya dipakai terus menerus. Awalnya aku masih bisa bersahut-sahutan dengan suara Reno di tenda sebelah. Meski terdengar malas, cowok itu masih bersedia menyahuti ocehanku yang tidak penting.
Sampai akhirnya, jam 1 pagi, suara Reno tidak lagi menyahut. Aku hanya diam, sambil terus menggerak-gerakkan tubuhku supaya tidak membeku. Masalahnya aku mendapat posisi paling pinggir, sehingga angin yang menyelinap masuk dari bagian bawah tenda langsung mengenaiku. Rasanya setiap pergerakan tubuhku tidak nyaman. Aku terus bergerak gelisah. Kedua mataku sudah mengantuk, namun setiap kali memejamkannya, pikiranku masih tetap terjaga.
Alhasil, aku hanya bisa tidur dua jam. Jam empat pagi, aku mendengar suara pintu tenda dibuka. Aku berusaha menebak siapa yang keluar dari tenda. Apakah itu Reno, Rangga, Adam, atau tetangga sebelah. Teman-temanku di dalam tenda, masih terlelap. Membuatku sangat iri pada mereka yang bisa tidur nyenyak. Aku pun beranjak duduk. Memegangi ponselku yang tidak memiliki sinyal, lalu memutuskan untuk mendengarkan lagu dengan airpods supaya tidak terasa sepi.
"Tyra? Lo udah bangun?!" suara Vika yang serak terdengar. Dia ikut duduk, dengan sleeping bag yang masih menempel di kepalanya.
"Asli ini dingin banget! Gue nggak bisa tidur semaleman." Sahutku sambil merapatkan jaket.
"Parah, sih, gue yang udah biasa kena dingin aja nggak tahan banget!" Balas Vika. Dia mengikat rambutnya, sambil mencari-cari air minum.
Tiba-tiba terdengar suara tawa kecil dari luar tenda, yang kuasumsikan kalau itu adalah Reno dan Rangga. Sebenarnya ini masih terlalu dini untuk menunggu sunrise. Namun lebih baik keluar dari tenda sekarang dari pada semakin kedinginan di dalam tenda begini. Aku dan Vika langsung berinisiatif keluar dari tenda sambil menunggu sunrise.
"Loh, Bang Adam udah bangun dari tadi? Kenapa nggak bangunin yang lain sih?" Seru Vika setelah keluar dari tenda lebih dulu.
Adam tidak menyahuti ucapan Vika. Ketika aku keluar, aku mendapati Adam sedang bersiap menyalakan kompor di depan tenda, dengan tubuh yang ditutupi sarung.
"Mau pada bikin apa nih?" Tawar Adam setelah mengisi panci dengan air.
Rangga yang baru saja keluar dari tenda langsung menyahut. "Gue mau bikin kopi, Bang!"
"Gue juga!" tambah Reno.
"Lo apa, Tir?" Tanya Vika yang bersiap membantu Adam.
"Gue ntar aja deh. Lagi nggak mood ngapa-ngapain." Balasku sambil mendekat pada tenda Reno. "Kita nggak jadi summit ke puncak kan?"
"Coba tanya Bang Adam! Kalau gue sih, udah mager ya! Lagian sampai di puncak juga udah siang, panas banget pasti!" Ujar Reno.
Rangga menggeleng-geleng kecil. "Dari awal juga gue udah nebak kalau kita nggak akan sampai puncak."
KAMU SEDANG MEMBACA
MERBABY
Teen FictionKatanya, kalau pengin tahu gimana sifat asli seseorang, ajaklah orang itu mendaki gunung. Padahal Tyrandra tidak pernah tertarik dengan Adam, apalagi sampai kepengin tahu bagaimana sifat asli Adam. Namun, tanpa disengaja, mereka berada dalam satu k...