Pos 7

52.6K 8.4K 809
                                    

Perjalanan menuju pos 2 terasa cukup berat. Setidaknya, berat bagiku. Namun canda tawa yang terus bersahut-sahutan berhasil meringankan sedikit rasa lelah itu.

Aku lebih banyak bercanda dengan Alesia dan Gita. Tentu saja kami bertiga yang jalan paling lelet. Ketika aku menoleh ke belakang, rupanya Adam sedang mengobrol dengan bapak-bapak yang kira-kira berumur 50-an. Kalau dilihat sekilas, bapak itu akan sangat cocok menjadi ayah kandung Adam.

Terlihat sesekali Adam tertawa sopan, juga mengangguk antusias. Obrolan mereka terlihat seru, layaknya melihat Reno dan Dicky yang suka heboh membicarakan gim. Baru kali ini, aku melihat laki-laki seusiaku sesopan ini pada orang tua yang bahkan baru pertama kali bertemu.

Dengan penuh penasaran, aku memperlambat langkahku, berharap bisa mencuri dengar pembicaraan mereka. Sialnya, baru kusadari kalau obrolan mereka memakai bahasa Jawa halus. Seketika aku menyerah, dan kembali menyahuti obrolan Alesia dan Gita. Sampai akhirnya si bapak itu berkata ingin istirahat, dan menyuruh Adam melanjutkan lagi perjalanannya. 

Adam yang semula berjarak agak jauh dariku, kini melangkah mendekat. "Udah deket tuh, pos 2-nya!" 

Teriakan Adam langsung disahuti oleh teman-temanku dengan riang. Di antara kami semua, memang belum ada yang pernah mendaki gunung ini. Namun, pengetahuan Adam soal gunung ini cukup membantu banyak. Bahkan Adam menghafal nama-nama setiap pos dan puncak di sini, seolah dia adalah penduduk asli sini yang sudah terbiasa menjelajahi daerah ini. 

"Itu bapaknya muncak sendirian, Dam?" Aku lebih tertarik membahas bapak-bapak yang tadi. Kulihat dari usianya, bisa jadi malah sudah menyentuh angka 60 tahun, melihat rambutnya sudah banyak yang memutih, juga tangannya yang mulai keriput. Yang jelas, usia bapak itu lebih tua dibanding Ayahku. Padahal Ayahku, baru diajak main bulu tangkis sebentar saja, sudah langsung mengeluh sakit pinggang. Bagaimana kabarnya Ayahku kalau diajak naik gunung dengan membawa carrier berat seperti yang dilakukan bapak itu?

"Nggak. Bareng anak sama menantunya. Bapaknya suruh anak-anaknya jalan duluan. Terus semua perlengkapan mereka juga udah dibawa sendiri-sendiri. Jadi kalau nanti nggak ketemu di Sabana 1, ya mereka tidur di tempat masing-masing. Nggak harus bareng-bareng." 

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Adam. Di satu sisi, aku kesal dengan anak-anaknya yang meninggalkan bapaknya begitu saja, berjalan sendirian. Untuk apa berangkat naik gunung bareng-bareng kalau ketika mendakinya harus terpisah begitu?!

"Bapaknya bilang, emang naik gunung ini, lagi pengen nostalgia jaman masih muda. Makanya nggak mau digangguin sama anak-anaknya. Dulu pas muda, bapaknya udah naik gunung banyak banget, dari ujung sampai ujung sudah dijelajahi semua."

Aku tidak menyangka Adam terus mencerocos. Padahal penjelasannya tadi sudah cukup bagiku. Namun, aku tidak mungkin mengabaikannya begitu saja, ketika dia berbaik hati mengajakku ngobrol. 

"Umurnya berapa, Dam? Kelihatan udah sepuh banget, tapi masih kuat. Keren sih!" Sahutku. 

"Iya. Harusnya kamu yang masih muda, malu kalau baru jalan dikit aja udah ngeluh terus!" 

Bola mataku langsung melotot mendengar sindiran Adam. Bukannya tadi cowok ini sedang mengajakku ngobrol dengan santai dan baik-baik? Kenapa seketika berubah menjadi menyebalkan begini?!

Aku tidak berkata apa-apa lagi, berusaha mempercepat langkahku. Sementara Adam terdengar mengobrol dengan pendaki lain yang lewat ataupun berjalan di belakangnya. Diam-diam aku menyimak interaksi mereka. Adam mendadak berubah jadi sosok yang cerewet dan punya selera humor yang bagus. Seolah dia tengah menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Aku bisa menangkap respon lawan bicaranya yang sangat tertarik berbicara lebih lama dengan Adam. Bahkan, aku saja yang cuma menguping begini, gregetan banget pengin menyahuti kalimatnya juga. 

MERBABY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang