"ADAM!"
Aku berteriak sekencang mungkin sembari berlari mengejarnya. Untungnya di hari pertama kuliah ini, seluruh kelas masuk di jam yang sama dengan mata kuliah yang berbeda tentunya.
Begitu dosen menyudahi pertemuan hari ini, aku langsung berlari keluar kelas. Sesuai dugaanku, Adam sudah keluar kelas lebih dulu. Bahkan dia sudah sampai tempat parkir.
Langkah Adam terhenti. Dia balik badan dan menungguku di bawah pohon mangga.
"Kenapa kamu nggak bilang apa-apa soal pindah kelas?!" Todongku langsung.
Di jurusanku, dosen dan pihak TU melarang keras kami pindah kelas. Kelas yang sudah diatur sejak semester 1 harus tetap sama sampai lulus. Ini berkaitan dengan jadwal praktikum yang sulit disesuaikan dengan jadwal kuliah. Kekurangannya, kami nggak bisa pilih dosen yang enak, juga nggak bisa pilih jadwal kelas, mau kuliah pagi siang atau sore. Kelebihannya, kami jadi lebih solid satu kelas, layaknya anak SMA yang nggak pindah-pindah kelas lagi. Sehingga nggak perlu beradaptasi tiap semester.
Kadang aku iri dengan jurusan lain yang diperbolehkan pindah-pindah kelas. Bisa mencari kelas yang dosennya enak, atau mencari jadwal siang supaya nggak perlu bangun pagi. Namun menyadari kalau sistem itu bikin mereka nggak punya teman banyak, karena suka ganti-ganti, aku jadi bersyukur dengan yang kujalani sekarang. Rasanya aku sudah betah berada di kelasku dengan teman-teman yang menyenangkan.
Walaupun sudah dibuat aturannya, tetap ada beberapa mahasiswa yang bandel dan memilih pindah kelas di tiap semesternya. Diperbolehkan pindah kelas, tapi harus secara keseluruhan. Bahkan praktikumnya juga harus pindah kelas. Nggak boleh cuma pindah satu atau dua mata kuliah aja. Sebelumnya sudah ada beberapa temanku yang melakukan itu. Sekarang, aku nggak nyangka, Adam juga melakukannya. Dan itu karena aku.
"Kamu sendiri yang bilang, kalau nggak bisa berhubungan baik dengan mantan. Aku nggak mau—"
"Jadi gara-gara aku belum yakin sama hubungan ini, kamu sama sekali nggak kasih aku kesempatan? Kamu mau langsung pergi dan menyelesaikan ini semua?! Kamu pengecut banget!" Emosiku berapi-api.
"Aku cuma melakukan sesuai kemauanmu, biar kamu nyaman."
"Dengan pindah ke kelas C?!"
"Mau pindah kelas A, udah penuh." Balasnya cuek.
Aku hanya diam. Netraku terus menyoroti wajahnya yang selalu datar seperti biasanya. Sembari menunggu apakah dia ingin mengatakan sesuatu lagi atau tidak.
"Tyra!" Suara lain terdengar menginterupsi.
Aku langsung mengalihkan pandangan pada Vika yang berdiri di pinggir parkiran.
"Tuh, mumpung ada Vika, bilang kalau kita udah pacaran!"
"Jangan sekarang, Dam..."
"Vika tuh gigih banget. Dia nggak akan berhenti jodohin kamu sama cowok lain kalau nggak dikasih tahu alasan yang sebenarnya. Kalau kamu nggak mau bilang, biar aku yang bilang."
"Kenapa sih, cuma perkara kayak gini aja kamu ngotot terus?!"
"Cuma perkara kayak gini aja?" Ulang Adam dengan nada sinis.
"Lala cuma pinjem jas hujanku aja, kamu udah ngomel-ngomel nggak karuan. Terus kalau aku tahu kamu jalan sama cowok lain, aku nggak boleh marah?"
"Aku nggak bilang kamu nggak boleh marah. Aku mau minta maaf dan jelasin ke kamu situasi saat itu."
"Nggak perlu dijelasin, aku udah tau." Balasnya cepat. "Aku tahu kamu pasti udah menolak usulan Vika pas nyuruh kamu ketemu Bayu. Tapi Vika tetap ngotot, karena merasa kamu masih jomlo dan Bayu naksir kamu. Ditambah lagi dulu kamu tergila-gila sama dia karena dia ganteng."

KAMU SEDANG MEMBACA
MERBABY
Teen FictionKatanya, kalau pengin tahu gimana sifat asli seseorang, ajaklah orang itu mendaki gunung. Padahal Tyrandra tidak pernah tertarik dengan Adam, apalagi sampai kepengin tahu bagaimana sifat asli Adam. Namun, tanpa disengaja, mereka berada dalam satu k...