Pos 15

49.2K 7.5K 134
                                    

belum diedit nih, maapin kalau ada typo🤗

jangan lupa vote dulu sebelum baca 🥰🥰


"Loh, Tir, elo nggak jadi bed rest seminggu?"

Baru saja aku melangkahkan kaki ke dalam kelas, suara Gita langsung terdengar memenuhi isi kelas. Sontak saja semua orang memandang ke arahku.

"Kalau Pak Andre bisa titip absen, males banget gue berangkat!" Sahutku malas, sambil mengedarkan pandangan pada bangku belakang.

Berhubung laki-laki di kelas ini sedikit banget, mereka suka memilih tempat di bagian pojok kelas. Biasanya Vika, Alesia dan aku menempati baris depan para cowok. Senyumku langsung merekah ketika Vika melambaikan tangan sambil menunjuk bangku kosong di sebelahnya. Vika memang selalu begitu, mencarikan bangku untukku hampir setiap hari. Sampai-sampai teman satu kelasku sudah hafal kalau Vika dan aku satu paket.

"Kaki lo gimana, aman?" tanya Vika.

"Gila ya, pas sebelum tidur tuh, gue biasa aja lho, tapi pas bangun... anjir! Rasanya kayak seluruh tulang gue patah!" Keluhku.

"Asli, gue langsung borong koyo satu pack!" Tambah Vika.

"Sama! Gue bener-bener asal tempel semua koyo di badan gue."

"Katanya kalian nggak sampai puncak ya?" Tanya Nana.

Seketika aku, Alesia, Vika dan Gita saling melempar pandangan. Kemudian kami menjawab dengan kompak. "Kata siapa?! Ya sampai puncak lah! Pendaki macam apa, yang nggak kuat sampai puncak?!"

Sayangnya mendengar sahutan itu, teman-temanku justru semakin tidak percaya.

"Gue lihat di statusnya Lala, 'Nggak papa, nggak sampai puncak. Yang penting kebersamaannya.' Udah lah, nggak mempan gue dikibulin gitu!" Nana terkekeh.

Vika dan Alesia terlihat kesal, padahal kami sudah sepakat di grup whatsapp, kalau kami akan bilang ke semua orang kalau berhasil naik sampai puncak. Ya buat seru-seruan aja sih. Supaya nggak diledekin terus.

"Kenapa nggak sampai ke puncak? Emang nggak sayang? Kan udah sampai sana nggak sekalian ke puncak?!" Tanya Thalita.

"Gampang sih, kita mah! Nanti kalau kangen gunung lagi, ya tinggal diulangi. Nggak perlu terlalu maksain." Balas Vika enteng.

"Tir, lo gimana sih, caranya kok bisa dibolehin?" tanya Thalita.

Aku hanya terkekeh. "Gue juga kalau ijinnya kayak kalian nggak bakalan boleh deh! Dari SMA, gue udah pengin banget naik gunung, tapi selalu nggak dibolehin. Makanya pas kuliah ini gue modal nekat aja."

Bola mata Karen langsung terbelalak penuh penghakiman. "Lo muncak nggak ijin dulu sama orang tua lo, Tir?! Gila berani banget lo! Emangnya kalau ternyata ada apa-apa gitu, lo nggak takut?!"

"Ijin. Pas mau ke Prau itu, awalnya gue ijin mau ke rumah Vika. Rumahnya Vika kan di Wonosobo. Mama cuma iya-iya aja, terus tanya, 'Ngerepotin Vika nggak, kalau gue nginep di sana?' Ya gue jawab enggak. Sebelum ke basecamp Prau kan kita emang ke rumah Vika dulu ya, pas udah sampai rumah Vika, gue kabarin ke nyokap. Dikiranya gue mau ke Telaga Warna. Terus apa gue bilang, kalau Telaga Warna itu jelek, mending ke Bukit Sikunir aja." Ungkapku.

"Habis itu nggak gue bales lagi. Pas kita semua udah sampai di basecamp, gue ketik pesan panjang banget gitu. Sekalian gue selfie juga, kalau udah siap mau muncak ke Prau. Terus gue bilang, minta doanya biar bisa pulang dengan selamat. Setelah itu, gue langsung matiin data. Ya udah. Secara otomatis kan Mama sama Papa gue bakal ngebolehin dan doain biar gue bisa selamat sampai pulang kan? Ya emang rada maksa sih, tapi yang penting akhirnya kesampean."

MERBABY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang