Pos 5

53.9K 8K 334
                                    

Kami sampai di Selo, Boyolali jam setengah sembilan pagi. Ketika kami mulai sampai di perkampungan dekat basecamp, seorang warga mencegat kami dan mengarahkan untuk parkir motor di sebuah tempat yang mereka sediakan. Alasannya, tempat parkir yang berada di sekitar basecamp sudah penuh, dan motor pendaki dilarang naik lebih jauh lagi. Padahal tempat itu berjarak satu kilometer dari basecamp. Itu artinya hanya ada dua pilihan, jalan kaki menuju basecamp sepanjang satu kilometer dengan membawa barang berat dan jalanan yang nanjak, atau naik ojek yang memang sudah mangkal di sekitar sana.

Reno sempat ngamuk-ngamuk. Dia menganggap kalau warga yang menahan kami agar parkir motor di sini, sengaja melakukan itu supaya kami naik ojek mereka. Kecurigaan Reno semakin tinggi ketika mengetahui kalau tukang ojek itu memang warga setempat. Bahkan ketika melihat rombongan kami, beberapa orang langsung berteriak ke rumah-rumah agar para warga yang punya motor, keluar untuk mengantar kami ke basecamp.

Tidak hanya Reno, Rangga dan Vika juga ikut misuh-misuh. Apalagi setelah mengetahui tarif ojek itu lima belas ribu. Padahal kalau ditempuh naik motor, mungkin hanya perlu waktu lima menit. Mau tidak mau, kami tetap harus menaiki itu, daripada jalan kaki ke basecamp. Bisa-bisa energi kami sudah habis duluan sebelum mulai ke puncak.

Aku tidak sempat ikut campur dengan omelan mereka yang saling bersahut-sahutan. Bukannya aku menganggap uang lima belas ribu itu enteng. Hanya saja, aku sudah terlanjur jengkel dengan Adam sepanjang perjalanan tadi.

Entah kenapa, di perjalanan tadi Adam terus-terusan mengajakku bicara. Padahal sebelumnya kami nggak seakrab itu. Meski kupingku memakai airpods, tapi aku masih bisa mendengar seluruh ucapannya dengan jelas. Namun, aku enggan menyahutinya. Apalagi saat jalanan mulai nanjak dan meliuk-liuk, Adam berkata, "Ini jalannya enak banget kalo naik KLX." Seolah dia sengaja menyindirku yang membuatnya tidak bisa menaiki motor kesayangannya itu, dalam perjalanan ini.

Aku pikir, karena aku tidak menanggapinya, Adam akan berhenti bicara. Tanpa kusangka, dia terus berbicara, "Dulu aku pernah lewat jalan yang lebih nanjak dari ini, asyik banget naik KLX."

Ingin sekali aku membuka mulut untuk menanggapi kalimatnya dengan pedas. Tapi mulutku selalu tertahan ketika mengingat kalau ini adalah Adam. Entah kenapa aku selalu merasa canggung dan kurang nyaman mengobrol dengan Adam. Aku takut kalau ucapanku nanti salah, malah membuat kami jadi semakin canggung. Jadi sepanjang perjalanan aku terus menyumpal mulutku dengan emosi yang menggunung. Apa memboncengkanku terasa seburuk itu?

Namun di tengah-tengah perjalanan, aku merasa sedikit terkesan dengan kesantunannya pada warga sekitar. Ketika kami sudah sampai di perkampungan dengan jalanan sempit, Adam melanjukan motorku dengan pelan. Padahal teman-temanku yang lain sudah lebih dulu di depan. Kupikir, dia tengah menikmati alam sekitar yang mulai terlihat hijau-hijau dengan hamparan ladang entah tanaman apa. Emosiku sempat memudar karena aku terlalu menikmati pemandangan ini. Pemandangan inilah yang menarikku untuk kembali mendaki gunung.

"Itu pada jemur tembakau." Jelas Adam tanpa kupinta, saat kami melewati jalanan yang di bagian kanan kirinya terletak papan berisi daun yang dipotong kecil-kecil sedang dijemur.

Penjelasan Adam membuatku menyadari kalau ladang yang sejak tadi kami lewati merupakan ladang tembakau.

"Monggo, Dheee..." Aku agak terkejut ketika Adam menyapa warga sekitar dengan anggukan kepala kecil, saat kami melewati warga yang tengah menjemur tembakau. (Monggo = silakan. Dalam hal ini, bisa bermakna permisi. Dhe = pakdhe/paman)

Adam terus mengulangi sapaan itu setiap melewati warga yang berdiri di pinggir jalan. Ini pertama kalinya aku menemukan cowok sesantun ini. Melihat Reno dan Rangga yang sudah jauh di depan, aku yakin dua cowok itu sama sekali tidak kepikiran untuk melakukan ini.

MERBABY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang