5

216 139 154
                                    

"Tuh dia si Rinni," lirih Lia, memasuki kamar. "Di cari-cariin tahu-tahu disini," kesal Lia, mengamati handpone Rinni yang menggambarkan status whatsapp.

"Eh Li, tumben nyariin. Kangen yaa," pede Rinni, seraya tersenyum memperlihatkan gigi putihnya nan rapih. Rinni menggeser ponselnya,  menampakkan pesan masuk lumayan banyak. Namun, ia tidak peduli.

"Ngawur. Rin, tadi kamu melihat apa di handpone? sampai berteriak," tanya Lia, berbicara serius. Semoga Rinni menjawabnya dengan jujur.

Ketara sekali wajah Rinni berubah pucat. Sebelumnya, melukiskan senyuman. Kini, menjadi sayu dan kegirangannya berubah jadi lesu. Rinni memalingkan wajahnya, tidak lagi menatap Lia. Ia juga mematikan gadgetnya.

"Rin? Ayolah kasih tahu," mohon Lia, ia sangat ingin mengetahui. Pasti ada kejanggalan dengan rumah ini. Entah apa itu. Yang terpenting sekarang Lia harus tahu tentang kejadiaan tadi.

Rinni tergagap celingak-celinguk melirik kiri dan kanan. Rinni bingung. Ia harus mengasih tahu atau tidak? Bila memberi tahu, nanti sahabat-sahabatnya akan gelisah dan takut terus. Rinni tak mau menyusahkan sobatnya, lantaran belum tentu itu adalah hantu. Sebetulnya Rinni menyesal, secara refleks menghapus videonya.

Andaikan waktu bisa di ulang, pasti Rinni lebih memilih menenangkan syoknya daripada mengambil handpone, lalu remove. "Anu Li, itu cuman...," gugu Rinni, tak berani memandang Lia yang sedang memperhatikan raut mukanya.

"Apa Rin?" desak Lia, memojokkan gelagat atas reaksi Rinni. Oh ayolah Lia ingin segera mengetahui peristiwa tadi. Sangat jelas seperti piring jatuh. Anehnya ketika menghampiri ruang tamu tak ada satupun yang terjatuh.

"A-anu, ada cowok mengajak video call. Aku kaget," bohong Rinni, membuang lebih jauh wajahnya pada Lia. Mengatupkan matanya erat, merapatkan bibir, ngeri Lia tidak mempercayai.

Lia tahu itu hanya alibi Rinni. Mengapa Rinni tak mau mengasih tahu? Padahal, tinggal bilang aja. Lia harus mencari kemana lagi tentang rumah ini. Harapannya, yang Rinni lihat barusan bisa menjadi bukti bahwa rumah ini angker.

"Oh begitu," ujar Lia, berpura-pura percaya. Sekeras apapun Lia memaksa, sepertinya Rinni enggan mau memberi tahu.

"Maaf  Li, aku gak mau menyusahkan kamu, Kaila dan Regina. Aku khawatir kalian selalu takut. Belum pasti juga itu adalah hantu. Bila nanti aku  mendapatkan penampakan merah-merah kembali, aku akan siap memberi tahu kalian semua," gumam batinnya.

Kaila mengendap-endap menuju belakang rumah, penasaran sama sumur tua yang dikatakan oleh Rinni dan Regina. Tak berlalu lama, akhirnya Kaila sampai. Ia memperhatikan sekitar. Benar saja, disamping batu besar ada sumur yang tertutup oleh plastik jumbo dan terikat tali.

Kaila lekas mendekati. Memegang sumur tua itu yang terkatup. Tidak butuh waktu lama, Kaila berjongkok membuka tali perlahan-lahan. "Biasa aja, apa yang perlu di takut-takuti?" teguh Kaila, santai mengendurkan tali tanpa rasa takut.

"Udah longgar ikatannya. Aku mau menunjukkan pada siapa ya? Regina? Lia? Atau Rinni?" bingung Kaila. "Jangan Lia, pasti dia gak mau. Coba Regina," imbuh Kaila, bangkit mau mencari keberadaan sobatnya.

"REGINA!" pekik Kaila. Ia tahu Regina sedang memakai earphone sambil mengemil makanan. Akibatnya kalau tak begitu, Regina tidak bakal peka.

Regina terlonjak kaget, langsung menoleh ke sumber suara. "Kaila, kebiasaan sekali kau," geram Regina, mencopot earphone dari telinganya, serta menaruh snack-nya dimeja.

"Re, tadi aku baru merenggangkan ikatan sumur tua itu dibelakang. Buktinya aku baik-baik saja. Mangkanya jangan terlalu percaya omongan kakek itu," cerocos Kaila, bisik-bisik di alat pendengaran Regina. Ia menghasut Regina agar mau ikut bersama dengannya ke belakang.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang