Bunyi ayam-ayam yang berasal dari kampung begitu berisik. Menghasilkan seorang gadis ramping membuka matanya perlahan-lahan, serta pandangan yang masih buram dan nyawa belum terkumpul tuntas. Mengingat hari ini akan berbelanja bahan pangan untuk disajikan.
Lia segera membenarkan penglihatannya, lalu membulat sempurna. Ia langsung menyambar benda pipih dan melihat jam. Sekarang pukul 05.30 pagi. Secepatnya Lia menyalakan lampu kamar. Bola matanya melacak keberadaan blazernya yang bisa mengoptimalkan udara dingin diluar.
Menemukan objek yang dicari. Lia menatap Regina terlebih dahulu, rasanya mau tertawa saja sepuasnya ketika memperhatikan cara tidur sahabatnya. Lucu memang memandangi iler menempel di samping bibir Regina. Namun, tidurnya diam, jarang berpindah posisi.
"Uang udah, ada di dalam casing," gumam Lia bersemangat, menghitung duit yang tersisa saat kemarin malam membeli makanan ringan. Ngomong-ngomong tentang snack, Lia lupa menempatkan dua minuman botol ke kulkas.
Tak terhitung sampai lima detik, Lia sudah mengamankan dua minumannya pada kedua tangan menuju dapur dan handpone bertengger di saku celana tidur. Secepat mungkin, Lia lekas menuruni anak tangga satu-persatu. Sampai di bawah, ia mengamati kiri dan kanan. Hanya lampu lorong saja yang menyalah. Selain itu, ruang tamu dan dapur gelap.
Lia memaklumi. Memang wajib begitu agar hemat listrik dan biaya. Dirinya bergerak mengarah tempat memasak. Gerakan kaki yang gontai membuat Lia dapat mengingat memencet sakelar lampu dapur.
Membuka kulkas, memangkalkan dua botol yang dapat menghilangkan dahaga. "Untung aku mengingatnya," syukur Lia, memandang minumannya tersenyum simpul. "Jadwal sekarang ke tukang sayur," kekeh Lia.
Sebagaimana adanya Lia sekarang. Ia mulai melangkah ke pintu utama dengan tergesa-gesa. Ventilasi yang terselimuti gorden dikit-dikit mengawali pancaran cahaya sang surya. Menyalahkan lebih dulu lampu ruang tamu berserta kaki terburu-buru sembari berjalan cepat. Tuntas menerangkan kawasan bilik tamu, Lia segera mengegah cepat.
**
"Lia, tolong aku. Jangan tinggalkan aku disini, aku takut, aku gak mau mati," isak Kaila, memandang Lia semakin jauh dari dirinya. Rambut yang panjang telah mengikat tangan dan kaki. Ia tak mampu lagi mengaktifkan raganya.
Peka akan alas tidurnya bergerak terus-terusan, Rinni terpaksa membuka bola matanya. Pertama kali yang ia pastikan adalah Kaila. Sesuai perkiraan, Kaila tengah mengigau sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tubuh ikut bergerak-gerak.
"Kaila! Kaila!" panggil Rinni, membangunkan sahabatnya. Keadaan ini mengganggu tidur nyenyaknya saja. Berulang-ulang kali Rinni menyebutkan nama Kaila. Namun tidak bangun juga.
"BANGUN KAILA!" pekik Rinni, kesabarannya sudah habis. Telinga sobatnya ini budeg atau bagaimana? Tak mendengar panggilan Rinni sama sekali.
Terdengar namanya disebut, Kaila tiba-tiba terlempar dari dunia yang menakutkan. Ia membuka indra penglihatannya memelotot keras melihati langit-langit kamar. Seusainya, Kaila menatap wajah Rinni yang kesal, namun ada kekhawatiran.
Kaila mendirikan separuh tubuhnya. "Ck, aku mimpi buruk," decak Kaila, menggosok wajahnya yang barangkali porak-parik. Bunga tidur barusan persis realitas.
Rinni membuang napas panjang sembari mengamati Kaila yang masih menggesek-gesek wajahnya memakai punggung tangan. "Mangkanya, jangan keseringan nonton film horror," tegur Rinni, merebahkan kembali raganya.
"Ish, dari kemarin aku tidak menonton," balas Kaila, menepuk kasur.
Sebelum menidurkan badannya, Kaila menyempatkan menoleh ke Rinni yang sudah beralih pergi menuju bunga tidur. "Yeh, udah tidur," sebal Kaila.
KAMU SEDANG MEMBACA
MERAH [END]
Horrorberkeinginan tinggal bersama para sahabat memang hal yang umum. Tapi apa daya jika mereka tak terlalu cukup uang untuk membeli tempat tinggal yang lebih memadai? Usaha pencapaian hasil yang memuaskan dan berhasil membeli tempat tinggal, mereka mulai...