7

61 29 27
                                    

Kaila bercermin. Sesekali membolak-balikkan tubuh idealnya. Ia begitu terpengarah melihat dirinya memakai baju bernuansa merah. Warna yang bagus, menyalah dan lambang keberanian baginya. Puas berkaca, Kaila mengambil handpone kemudian merebahkan tubuhnya ke ranjang.

"Gak ada yang terjadi," remeh Kaila, sambil menatap wajahnya di kamera ponsel.

Buuussshhhh...!

Tiupan angin berhembus kencang.  Hawa begitu dingin dan kuat. Kaila menaruh gadgetnya. Ia ingin memeriksa, apakah jendela atau pintu terbuka? pelan-pelan turun dari ranjang seraya menatap pintu kamar yang masih tertutup. Berangsur-angsur mendekati daun pintu dengan keringat mulai bercucuran dan meremang.

Tak menggubris ketakutannya. Namun, air tetap berderai di sekujur tubuh. Kaila langsung membuka pintu kamar. Melirik kiri dan kanan, tidak ada yang aneh. Semuanya tertata rapih dan normal. Apa yang membuat angin bertiup kencang?

Merasai angin dan hawa ternyata sudah normal. Tiba-tiba pintu terbuka lebar. Kaila tersentak, matanya membulat sempurna memandangnya. Seluruh raganya tegang berbaur gemetar.

Tak butuh lama, Kaila melangkah perlahan-lahan untuk menutup kembali. Tatapannya was-was melihat ke arah luar. Sangat merinding, ketika mengamati pohon-pohon rindang nan gelap. Tepat saat mau memegang kenop pintu, sontak pintu itu merapat sendiri. Tak ada angin ataupun badai. Bagaikan sengaja di dorong pelan.

Rongga mulut Kaila meretek. Ibarat slowmo mengamati pintu menutup. Puas memerhatikan, Kaila mencoba mengekspos pintu. Dirinya menyimpulkan bahwa ia terkunci. Tidak bisa di buka sama sekali. Kaila menggedor-gedor berkali-kali, ia histeris dan gelisah. Sadar usahanya akan sia-sia, akhirnya Kaila membalikkan tubuhnya.

**

"Feeling aku kok gak enak ya meninggalkan Kaila di rumah sendirian," ucap Lia spontan. Hatinya risau, ingin segera kembali ke rumah, tetapi tanggung mau sampai di pemukiman. Disana ada toko penjual makanan ringan.

"Perasaan kamu doang kali Li, udah tenang aja," sahut Regina, menenangkan Lia yang risau. "Rin, sejak tadi kenapa diam aja?" tambah Regina, bertanya kepada Rinni yang terdiam terlalu lama sejak awal berangkat.

Rinni gelagapan. "A-apa? A-ku hanya ingin fokus berjalan," jawab Rinni berbohong, sembari tersenyum sumbang. Dirinya terlalu takut mau mengatakan tentang sumur tua itu. Mungkin nanti saja bilangnya saat sudah sampai di rumah.

"Itu warung bukan?" tanya Lia, memperjelas indra penglihatannya pada warung yang masih rada jauh darinya.

"Mana?" Regina mengikuti arah pandang Lia.

"Iya, itu warung," ucap Rinni santai, berjalan mendahului Lia dan Regina.

Kedai kecil bernuansa abu-abu mendominasi setiap penjuru. Jajanan ringan lengkap tertata rapih di atas etalase dan terpajang di tembok-tembok. Tak lupa, ada dua kulkas berisi minuman dingin yang beraneka rasa dan merek. Pokoknya toko ini sangat komplit untuk kebutuhan sehari-hari dan kudapan khas anak-anak.

Lia memandangi isi warung tersebut. Regina buru-buru mencomot satu-persatu snack dengan rakus. Rinni juga mengambil camilan yang hanya disukai. Ketika Lia memasuki toko, ia dapat melihat Regina sedang mengumpulkan jajanan berupa chiki lebih banyak dari makanan kecil lainnya.

Lia memaklumi sahabat satunya ini. Tak hanya melihati Regina. Lia juga ikut meghunus. Bedanya Lia memilih-milih terlebih dahulu karena takut kalorinya tinggi. Lambat-laun Lia menentukannya, alhasil hanya mendapat beberapa dan dua minuman, sekalian buat besok.

Tidak lupa juga Lia akan menanyakan kepada penjualnya tentang tukang sayur untuk besok memasak. Kalau ada pedagang bahan pangan sekitar kampung ini, Lia akan setiap hari membeli kala pagi tiba.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang