Menuruti ucapan Kaila. Regina perlahan-lahan mengintip kolong meja makan. Belum cukup puas melihatnya, ia lebih mendalam lagi untuk memperjelasnya. Kemudian Regina membungkukkan tubuhnya. Dengan kepala dan mata, terlihat jelas sesosok wanita memakai tudung merah, rambut yang lumayan panjang, gaun merah megar, mata putih dan wajah berdarah-darah.
Satu kata tercengang mampu membuat Regina tak bergutik. Diam mematung memandang wujud wanita tersebut. Lambat-laun hantu merah itu makin mendekat sambil menganga memperlihatkan gigi runcingnya dan mata nyalang berwarna putih. Kepanikan menerjang. Regina mengangkat kepala dan separuh raganya.
Benturan tubuh yang cukup keras menimbulkan kecemasan ketiga sahabatnya. Ia berteriak kencang mendorong meja. Sampai-sampai perut Rinni nyaris terbentur oleh dorongan Regina yang kuat.
"Seumur hidup, aku gak pernah melihat perihal begituan," engah Regina, mengatur napas dan ketakutannya tengah menguasai. Sensasi ini bisa membuktikan bahwa hal horror itu benar-benar ada.
"Maksudnya? Kamu melihat apa Re?" Lia berupaya menenangkan kepanikan Regina melalui ucapan yang tidak menekan.
"A-aku melihat hantu," ngeri Regina, memandangi bawah meja dengan perasaan betul-betul ketakutan. Tak habis pikir, barusan dirinya melihat bak iblis.
Lia bingung atas ujaran Regina. "Ha? Kamu mungkin belum ngemil, Jadi otakmu belum berfungsi," jawab Lia, beranggapan seperti itu mengenai Regina.
Regina mencerna omongan Lia. Apa hubungannya sama mengemil? Lihat saja ia sedang terengah-engah. "Isshhh, enggak ada kaitannya. Jelas-jelas aku melihatnya tadi," tekan Regina pada Lia.
Awalnya Rinni berdiri, kini duduk kembali. Sementara Kaila menunduk merenung ke piring yang kosong. Sama-sama mengkhawatirkan perilaku celaka atas sumur tua yang sudah terbuka dan memakai baju merah.
"Jangan-jangan penyebabnya Kaila memakai baju tidur berwarna merah," duga Regina memelotot.
Kaila mendongak. "E-enggak! apa hubungannya. Itu hanya mitos!" sahut Kaila mengamati Regina. Ia harus konsisten tenang karena belum terganggu lagi oleh setan itu.
"Kau bilang mitos? Pikir! kakek itu berbohong? Buat apa? Gak ada untungnya," sarkas Regina, berbicara empat mata berhadapan dengan Kaila yang lamban-lamban menyejajarkan tinggi Regina.
Suasana nyaris memburuk. Lia bergegas mendaimakan ke-dua sobatnya sedang tersungut emosi. "Hei, bisa bicara baik-baik? Jangan seperti ini. Malah gak menyelesaikan masalah," lembut Lia, berniat memadamaikan situasi mencekam.
Ucapan lembut yang Lia lontarkan membuat Kaila dan Regina menengok bersama. Mereka berhenti berbicara tentang dedemit yang baru saja Regina lihat.
Regina yang sadar akan ikatan persahabatannya. Ia memutuskan tidak memperpanjang asumsinya pada Kaila. Regina tak mau tali persahabatan mereka ber-empat hancur.
Regina berusaha tenang. Jari-jarinya menjadi mainan saat ini. Ia takut melihat sosok wanita seram itu lagi. Geraham bertaring berhasil memicu jijik campur mengerikan. Apalagi muka berdarah-darah. Sekali lagi penglihatannya menatap rupa wanita tersebut dijamin akan muntah.
"Kalian pernah melihat sosok hantu itu? Soalnya aku belum pernah menyaksikkannya sama sekali," parau Lia.
"A-aku juga," gugu Kaila, membalas pertanyaan Lia.
"Sama, a-aku juga," gagap Rinni, iring merespons Lia. Sebetulnya ia lebih persis mengikuti Kaila. Rasa bersalah dan menyesal tetap setia terhinggap dihati dan otak Rinni. Amat takut mau bilang mengenai sumur tua, lantaran dirinya cemas kalau Kaila akan membencinya.
Disisi lain, Kaila juga resah telah menyembunyikan perihal sumur tua dan baju merah yang sudah direncanainnya.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
MERAH [END]
Horrorberkeinginan tinggal bersama para sahabat memang hal yang umum. Tapi apa daya jika mereka tak terlalu cukup uang untuk membeli tempat tinggal yang lebih memadai? Usaha pencapaian hasil yang memuaskan dan berhasil membeli tempat tinggal, mereka mulai...