11

132 69 40
                                    

"Yah... Sekarang aja yuk datang ke rumah ibu itu," ngebet Regina, sudah mendirikan tubuhnya bersiap-siap mendatangi rumah ibu tersebut.

"Bagaimana si Re, aku gak tahu rumahnya. Lagian juga aku gak sempat menanyakan namanya, apalagi rumah," sahut Lia, sejelas-jelasnya kepada Regina.

Memahami ucapan Lia, alhasil menurunkan semangatnya. Regina meletakkan bokongnya kembali. Tak lupa dengan raut muka murung. Padahal, ia Ingin cepat-cepat mengetahui kisah rumah ini dan apa kaitannya pada sumur tua? Serta larangan memakai baju merah ketika matahari terbenam.

Rinni hanya mengamati omongan yang terlontar dari mulut ke mulut antara Regina dan Lia. Satu kata yang dapat menyimpulkan sosok Rinni yaitu bimbang.

Teng! Teng! Teng!

Suara dentingan dari luar melahirkan muka masam Regina berubah menjadi ceria.

"Wah, itu kayak tukang bakso," girang Regina, serta-merta bangkit sembari memandang keluar. Pergerakan tubuh yang gesit tak sabar kakinya mau menuju tukang bakso.

"Iya kali," asal Rinni, sembari memperhatikan layar handpone.
Melihat-lihat foto orang bak selebgram.

Regina melirik, menatap Rinni sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Ia tahu, Rinni asal-asalan menjawabnya.

Tidak mau ambil pusing atas tuturan Rinni. Regina langsung keluar ingin memberhentikan pedagang bakso. Saat sampai di halaman Regina heran, abangnya terus-menerus memperhatikan Rumah ini. Terlihat dari raut wajahnya dia seperti takut dan was-was.

Cukup dibikin terheran-heran, Regina menghiraukan. "Bang!" pekik Regina, menerbangkan salah satu tangan agar tukang bakso tersebut berhenti.

Akang bakso itu langsung menoleh ke arah suara. "Neng, manusia kan?" ujar abang tersebut masih tersimpul rasa takut dimukanya dan memastikan itu bukan hantu.

Regina memandang aneh ke tukang bakso itu. "Iya, saya manusia," balas Regina, mulai melangkah mendekati gerobak bakso. Raut wajah Regina tak lepas dari keheranan atas ucapan tukang bakso itu.

"Neng, kok bisa tinggal disini?" tanyanya, memakai volume yang sangat pelan. Tatapan matanya itu, tidak pernah lupa memandamgi bangunan dihadapannya. Sorotnya menyiratkan kengerian dan betul-betul takut.

"Bisa lah, kan beli," ceplos Regina, memerhatikan mimik muka tukang bakso dengam seksama. Dirinya bingung, suka sekali abang ini melihati rumahnya. "Kenapa si bang? Dari tadi kayaknya melihati bangunan rumah ini terus? Serta wajahnya bagaikan ketakutan banget," lanjut Regina mengitimidasi.

"Eh gak papa," balas abang----tukang bakso sembari cengengesan menutupi rasa takutnya. "Neng, dari kapan tinggal di rumah ini?" tanya abangnya, tanpa melihat orang yang diajak omong. Regina curiga, pasti ada sesuatu yang disembunyikan.

"Beli juga deh," ucap Lia, dari kejauhan mulai melangkah menghampiri Regina dan gerobak bakso yang minim. "Pesan dua aja, sekalian buat Kaila siapa tahu dia lapar," gumam Lia, hampir mendekati tujuannya.

"Dua lagi ya, bang," titah Lia, tersenyum tipis menatap kuah dan bakso begitu menggiurkan saat diangkat ke mangkuk milik Regina. "Dua ya bang," ulangnya, mengeja kata-katanya supaya abangnya ingat.

Akang bakso menyengir. "Tenang, saya dengar mbak," sahutnya, seraya memberi mangkuk yang berisi bakso kepada Regina. "Saya tanya kok gak di jawab neng? Dari kapan tinggal di rumah itu?" tunjuk abang tersebut. Tanpa sadar, Lia mengikuti arah jari telunjuk penjual bakso.

"Mungkin dua hari yang lalu, memang kenapa?" sahut Lia, walau yang ditanya Regina, tetapi Lia penasaran mengapa menanyakan hal sedemikian.

"Dia bertanya padaku," seru Regina, memandang Lia. Awalnya mau menjawab pertayaan barusan, tapi keburu Lia berbicara memesan dua bakso.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang