29

41 16 9
                                    

Pemakaman Kaila hari ini berjalan lancar. Sebelumnya Azlan membeli segala keperluan untuk mengebumikan Kaila begitu sulit karena hampir semua toko tutup. Dan Azlan tak pantang menyerah ia tetap mencari kios yang masih buka.

Azlan cuman sendiri saja belanja keperluannya. Itu semua suruhan Ibu Mei agar Azlan doang yang memborong kebutuhan untuk menguburkan Kaila. Terpaksa mereka semua memakamkan Kaila disamping bangunan ini. Huh, seperti orang tidak baik-baik namun mau bagaimana lagi?

Pastinya setelah urusan seluruhnya selesai, sahabat-sahabat Kaila akan memindahkan jasad Kaila ke pemakaman umum. Melakukan ini hanya ingin mayat Kaila tak membusuk di dalam kamar. Ingat! Hanya sementara menguburkannya disini.

Menggali tanah adalah hal yang paling susah bagi Azlan. Ia Sendiri berjuang membolongi tanah. Tanahnya sih tak terlalu keras mampu mempermudah usahanya. Andai saja ada kehadiran Rafael, jelas pekerjaan Azlan lebih mudah.

Kalau bukan karena perintah dari sang Ibu untuk Azlan saja yang menggali dan membeli kebutuhannya, Lia, Rinni dan Regina pastinya akan membantu, Tetapi sekarang berbeda, Ibu Mei menyuruh para perempuan tetap di dalam rumah sekalian menjaga Kaila.

"Kai, seusai masalah tentang hantu merah tuntas kita akan memindahkanmu dari sini. Gak layak memang, tapi maafkan kami. Orang tuamu juga sulit dihubungi. Seandainya salah satu orang tuamu gampang dihubungi kamu jelas mendapatkan sebagaimana orang meninggal seperti pada umumnya," tangis Lia.

Regina mengelus-elus bahu Lia. Rasanya tidak tega menguburkan Kaila bukan pada tempat seharusnya. Ada sensasi gemetar yang dirasakan Regina saat teringat sosok Kaila. Bertekad setelah urusannya selesai, Kaila pasti dipindahkan.

"Sebenarnya kalau gak ada kamu sekamar denganku sepi dan sunyi, gak ada kekagetan menonton film horror." Rinni menitihkan air matanya berulang kali.

Tiba-tiba seorang lelaki berdiri tegap tepat dihadapan makam Kaila. Ia membendung kristal beningnya seolah menahan kesedihan. Perlahan air matanya berguguran jatuh ke pipi hingga ke bawah. Kian lama bulir-bulir itu amat membasahi wajah Rafael.

"Rafael?" riang Azlan berseri-seri. Akhirnya sobatnya datang lantaran sejak kemarin tak muncul-muncul. Tanpa melihat lama, Azlan bangkit lalu memeluk Rafael.

Deru napas tak teratur Rafael membuatnya susah berbicara. "Az, apakah Kaila benar-benar pergi? Kalau begitu Kaila sangat jahat kepadaku." Nyaris terbata-bata Rafael mengungkapkannya sembari menempelkan kepalanya ke pundak Azlan.

Azlan menepuk pelan punggung Rafael bermaksud menguatkannya. "Ikhlas kan, Raf, itu maknanya Kaila gak ditakdirkan untukmu," lirih Azlan berhati-hati atas omongannya. Rafael harus dijelaskan agar dia tidak melakukan hal yang aneh-aneh.

Rafael melepas pelukan Azlan dari dirinya. Tahap-bertahap Rafael mulai mengerti perkataan Azlan. Ya, seharusnya Rafael mengikhlaskannya. Kesalahan di masa lalu membuatnya masih merasa bersalah. Senyuman pasrah terpancar, berusaha merelakan Kaila.

Langkah demi langkah Rafael lalui. Menyentuh butiran tanah yang di dalamnya ada pujaan hatinya. "Kai, aku berjanji gak akan menyakiti gadis yang mencintaiku walau dia memiliki kekurangan," ucap Rafael tersenyum sekaligus menangis.

Melihatnya, Rinni menjadi terharu menyaksikan Rafael sudah tobat dari sifat playboy-nya. Ingin rasanya pria di instagram-nya seperti itu, tapi dm-nya saja sampai sekarang belum dibalas bahkan dibaca pun tidak.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang