25

49 20 16
                                    

Rafael menangis kejer hingga mengundang tangisan lainnya. Ibu Mei menunduk tanpa kembali mengangkat kepalanya. Rasa bersalah menghantui diri sang Ibu. Perkiraan indah musnah begitu saja. Baru kali ini Ibu Mei gagal menyelamatkan orang dari jeratan makhluk gaib.

Azlan khawatir pada Lia yang sedang pingsan. Dia belum siuman sedari tadi, mengakibatkan hatinya gelisah. Ketika melihat Rafael, Azlan bisa meneelah bahwa sahabatnya itu sangat kehilangan sekaligus menyesal telah menyia-nyiakan wanita yang tulus mencintainya. Sayangnya Rafael tak tahu diri dulu.

"KAILA! Maafkan aku. Aku sungguh menyesali. Sekarang a-aku mencintaimu Kaila, ayo bangunlah kita akan pacaran." Rafael menggertak-gertakkan seluruh tubuh Kaila berharap gadis itu hidup kembali.

Regina dan Rinni tak mampu mempercayai ini semua. Salah satu sobatnya meninggal dengan kondisi memperhatinkan. Darah yang keluar dari mulut Kaila benar-benar banyak, melampaui cairan merah tempo lalu. Karena terguncang, Rinni dan Regina hanya terbengong seraya mengeluarkan bulir-bulir bening.

Cukup lama Lia tak sadarkan diri, kini akhirnya terbangun karena Azlan terus berbicara dengan volume pelan ke telinga Lia supaya sadar. Saat membuka mata, ia langsung melihat Kaila serupa sedang tertidur pulas dikasurnya, serta darah berceceran di dekat sahabatnya itu.

Lia bangkit kemudian membungkuk lemas memandang Kaila. Air mata Lia tidak bisa di tahan lagi. Alhasil Lia menangis kencang seperti orang frustasi. Azlan yang kaget melihatnya berusaha menenangkannya. Menyaksikan Lia, Azlan turut menjatuhkan kristal bening.

"Ibu minta maaf, Nak. Ibu gagal menyelamatkan temanmu." Ibu Mei bertekuk lutut di hadapan Lia. Penglihatannya tidak berani bertatapan langsung pada Lia, yang sudah memercayainya penuh. Tetapi sang Ibu mengecewakannya.

Lia terkejut. "Apa-apaan sih Ibu," lirihnya ikut menyamakan tinggi badan Ibu Mei. Menjawat bahu sang Ibu untuk membangunkan. Pandangan Lia sendu menatap Ibu Mei, bukan tanpa sebab. Lia tahu sang Ibu sudah berjerih payah menolong sobatnya secara tidak langsung.

"Ibu memang gak berguna, Neng." Ibu Mei merendah sekali di depan Lia. Tidak berhasil menolong orang adalah titik keburukan bagi sang Ibu. Ibu Mei seharusnya dapat diandalkan. Namun kali ini mengecewakan.

"Benar! Ibu itu enggak berguna!" Gertak Rafael seketika semuanya hening. Kelihatan sekali Rafael tengah terpukul selepas kehilangan gadis yang ia cintai.

Lia yang mendengar langsung marah. "Rafael! Kamu gak boleh ngomong begitu! Ingat! Tanpa Ibu Mei kita gak akan tahu asal-usul hantu merah!" Lia membela sang ibu. Seenaknya sekali Rafael menyalahkan satu pihak saja.

Rafael menyirangai. "Apa? Asal-usul? Mana? Ibu ini gak pernah memberi tahu alasan penyebab hantu merah murka kepada Kaila, dan yang menyebabkan adanya hantu merah apa?" sewotnya, sesekali menaikkan muka.

"Budek atau gimana? Kan tahu Kaila begini karena ulahnya sendiri melanggar amanat penjaga kakek rumah ini terdahulu, dan menentang pamalinya mengenakan baju merah saat matahari terbenam." Tidak mau kalah, Lia tak kalah sengit.

Lagi-lagi Rafael tertawa remeh. "Oh, berarti kamu lebih membela Ibu itu? Daripada sahabat kamu?" Rafael menunjuk antara Ibu Mei dan Kaila dengan mimik jengkel.

"Udah! Kamu Rafael sebaiknya tenangkan dirimu, jangan terbawa emosi mulu," titah Azlan meredakan kenyolotan Rafael yang memicu naik darah.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang