15

91 40 35
                                    

Sebaliknya, sekarang bulan bertukar tugas dengan mentari. Langit yang gelap, pelan-pelan mengambil alih layaknya warna kapas, dan Ayam-ayam saling bersahutan.

Seorang gadis tengah berkutat dengan wajan dan spatula didapur. Ingin menyiapkan sarapan walaupun bukan semacam roti, tetapi telur ceplok serta memakai kecap manis. Tak lupa, sebelum berada diruang memasak, Lia sudah ke tukang sayur. Mengejutkan sekali, ternyata abang sayur juga menjual beras dan telur.

Karena warung tersebut belum buka, Lia memutuskan membeli telur dan beras di akang sayur saja. Sekarang ini Lia mengelolah berbaur rasa semangat tinggi, hinggap lupa tidak mengenakan celemek.  Lia tidak memedulikan. Kenapa harus takut kotor? Lagian juga belum mandi santai aja.

Lia bersyukur memiliki sahabat seperti mereka karena tidak neko-neko dalam memilih makanan. Hidangan apa saja, senantiasa dimakan. Dan tidak berkomentar menghina. Meski diantara mereka sering beradu mulut. Namun, solidaritas tetap utama.

"Ingat Li, periksa whatsapp sehabis ini," gumam Lia kepada dirinya. Wajib begitu, kalau tidak, bisa-bisa bablas tidak membuka handpone dan room chat. Rasanya mau sekali menyematkan kontak Azlan, tapi Lia sadar bahwa dirinya memang siapa?

Hanya butuh 16 menit menyelesaikan menggoreng telur ceplok. Tinggal nasi saja belum matang. Ia memberhentikan sejenak kakinya yang sejak tadi berdiri terus didepan kompor dan wajan. Sembari menunggu nasi siap, tangannya mengambil botol minuman dingin dari dalam kulkas.

Meneguknya seraya tersenyum-senyum membayangkan wajah Azlan sangat tampan. "Besok kuliah yey. Gak sabar mau melihat muka Azlan," ucap Lia menopang dagunya, serta arah matanya ke atas menatap plafot.

"Lapar nih," lirih Regina berjalan menuju dapur dengan lesu sambil memegangi perutnya lantaran cacing-cacingnya sudah berdemo minta makan. "HEI! Lia, kau lagi apa? Membayangkan si Azlan?" Ceplos Regina memandang Lia tengah tersenyum-senyum sendiri.

"Tahu aja Re," sahut Lia, masih kukuh melihati langit-langit tanpa menoleh. Hingga ia tak sadar, Regina sudah melahap hidangannya, dan nasi sudah matang.

Regina memutar bola matanya. "Masih pagi, nanti aja halunya. Mending makan," ujar Regina menyantap gesit santapannya sampai penuh didalam rongga mulut.

Mengacuhkan ocehan Regina. Lia langsung bergegas pergi. "Entar aja makannya, aku mau membalas chat Azlan. Siapa tahu dia mengirim pesan," pekik Lia, disela berjalannya mengarah tangga.

Rinni membuka pintu kamar, menatap aneh terhadap Lia saat menaiki anak tangga. "Enggak biasanya berbahagia seperti itu," heran Rinni, lalu melangkah ke dapur.

"Ya, biarin aja yang penting udah disiapin makanan," santai Regina yang tak sengaja mendengarnya sembari menyantap.

"Lia memang top," puji Rinni bersandar dikursi, siap-siap mengambil santapan untuk mengisi perutnya.

**

Kaila memandang kosong ponselnya. Baru saja ayahnya menelepon. Rasanya ia muak mendengar nasihat dari ayahnya itu.

Mereka hanya memikirkan pekerjaan, dan sampai rumah kegiatannya bertengkar entah bercekcok tentang apa. Mangkanya Kaila mau buru-buru meninggalkan rumah.

Menyesal telah meminta hospot ke Rinni lantaran ayahnya menelepon, tepat saat Kaila membuka aplikasi berwarna hijau tersebut. Sejak kapan ayahnya pandai menasihati? Mereka tuh sibuk terus, tidak ada waktu luang buat anaknya sendiri.

Meratapi barusan memohon-mohon meminta hospot kepada Rinni, tahu-tahu hal yang paling malas bagi Kaila dengarkan, apalagi bertemu dengan orangnya.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang