Air dingin ah mantap menghilangan dahaga yang meronta-ronta sejak tadi berangkat. Regina terpaksa membeli minuman botolan di pinggir jalan karena sudah tak tahan dengan rasa hausnya. Pagi-pagi minum air dingin sebenarnya tidak boleh, tapi biarkan saja.
Aish, Regina ditinggalkan oleh Rinni dan Lia yang berjalan duluan. Mereka mengira bahwa Regina akan jajan mulu lantaran belum sarapan. Namun asumsinya salah, Regina hanya butuh minum. Menyusul dua sahabatnya yang sudah agak jauh, Regina berlari kecil.
"Kirain mau jajan?" Tanya Rinni memandang Regina. Barusan saat berangkat layu sekali seperti orang belum makan selama 3 hari. Lagian juga si tadi buru-buru takut terlambat. Padahal masih pagi banget, terlebih kemarin tak masuk ditambah tidak izin atau mengabari sang dosen.
Regina mencerling. "Aku cuma haus. Oh iya... tentang Kaila meninggal, kita harus memberi tahu orang tuanya." Regina murung tatkala menuturkan Kaila sudah tiada. Hatinya kecut ketika mengingat dirinya sering mengomeli Kaila. Dan sekarang sahabatnya itu pergi untuk selama-lamanya.
"Hm, nanti kita kabarin saat pulang. By the way handpone Kaila dimana?" Lia curiga ponsel milik Kaila tak ada di kamar, dan jarang tergeletak di bufet atau kasur. "Aku ... rada gak enak sama Ibu Mei karena kita meminta tolong terus untuk menjaga Kaila dirumah," keluh Lia serupa menggantungkan apapun dengan sang Ibu.
Benar juga sih omongan Lia. "Iya si, tapi mau gimana lagi? Siapa yang mau menjaga Kaila selain Ibu Mei? Sedangkan kita harus kuliah," balas Regina melangkah sesekali meneguk air dinginnya.
"Kemarin kayaknya handpone Kaila dipegang sama Rafael. Ya, aku melihatnya." Rinni ingat gadget Kaila dipegang Rafael. Tapi sekarang Rinni tak tahu ditaruh dimana ponsel Kaila itu.
Lantas Regina dan Lia menoleh. Mereka sedikit terkejut atas ucapan Rinni. Tumben-tumbennya Rafael memegang hp Kaila? "Kau melihatnya? Dimana?" tanya Lia penasaran.
Seketika Rinni cemberut. "Kalian gak melihatnya? Kemarin dia mengambilnya lalu menyalakannya. Dan aku enggak tahu apa yang sedang dilihatnya." Kemudian Rinni mengangkat bahunya sebagai tanda tak tahu.
Regina terangguk-angguk. Tak lama ia mencetuskan pendapat, "Tanyain aja Rafael," usul Regina mengibaskan jari telunjuknya pada bangunan universitas Gemilang yang hampir sampai.
Lia dan Rinni menyetujui ide Regina. Mereka tidak menyahut kalimat yang dilontarkan Regina. Menurutnya sudah cukup sepakat tidak perlu penolakkan dari ketiganya. Tinggal menanyakannya ke Rafael doang.
"Bertiga aja... teman satunya lagi mana?" goda Pak satpam seraya tertawa kecil mencari-cari sosok Kaila. bagaikan tembus, hati ketiganya langsung teriris.
"I-itu a-anu, dia izin gak masuk dulu." Regina nyaris mengeluarkan air mata. Lubuk hatinya merasa tak tega menjawab pertanyaan dari Pak satpam. Padahal Kaila sudah meninggal, hanya orang tua Kaila saja yang boleh tahu.
Lia gelagapan atas pertanyaan pak satpam. Akhirnya ia membetulkan sahutan Regina. "Iya, Pak. dia izin katanya ada acara keluarga." dengan gerak-gerik tak biasa, Lia memperlihatkan. Semoga Pak satpam tidak curiga.
"Oh begitu... yasudah masuk, gih." Pak satpam mempercayainya. Pasalnya hampir setiap hari mereka selalu berempat mulu kalau sedang memasuki gerbang universitas ini. Sudah lumayan lama gadis berempat itu menjalin ikatan persahabatan.

KAMU SEDANG MEMBACA
MERAH [END]
Terrorberkeinginan tinggal bersama para sahabat memang hal yang umum. Tapi apa daya jika mereka tak terlalu cukup uang untuk membeli tempat tinggal yang lebih memadai? Usaha pencapaian hasil yang memuaskan dan berhasil membeli tempat tinggal, mereka mulai...