22

49 30 14
                                    

Azlan merasa bersalah karena tidak memberitahu Rafael tentang Kaila. Tak lama ia melontarkan kata,"Raf, maafin aku. Aku gak mau kamu cemas. Aku tahu kamu mencintai Kaila kan?" Ia berharap kawannya itu tak emosi.

Rafael memandang Azlan. Ya, dirinya telah mencintai Kaila. Namun atas kesalahan masa lalunya membuat Rafael agak takut mendekati diri pada Kaila. Karena gadis itu sepertinya sudah telanjur membecinya.

Lumayan lama menatap Azlan seketika air mata Rafael menetes. Dirinya sangat menyesali perbuatannya dulu terhadap Kaila. Pasti hati Kaila begitu sakit hingga membencinya, dan dia menjadi trauma ke semua lelaki. Gadis itu takut peristiwa yang telah dialaminya muncul kembali.

Lalu Rafael memalingkan wajahnya dari Azlan. Ia menyeka kristal beningnya kemudian menghampiri Kaila. Memegang punggung tangan milik Kaila seraya menatap sendu pada gadis yang tengah menutup mata, tetapi masih bernyawa. Saat ini Rafael tak mau menjawab pertanyaan Azlan, sebab dirinya 'masihkah pantas'?

Ibu Mei sedari tadi menyaksikan mereka semua. Membangkitkan tubuhnya hendak menyamperi Rinni agar segera menceritakan perihal Kaila yang memicu kemarahan hantu merah sampai mengakibatkan dirinya sendiri terkena imbas.

"Nak, ayolah beri tahu. Gak papa ... gak usah takut, sahabatmu gak bakal ada yang marah," bujuk sang Ibu sambil membelai pucuk kepala Rinni. Tiba-tiba ia teringat dengan almarhum putrinya.

Sentuhan Ibu Mei menciptakan ketenangan hati. "I-iya, Bu. Aku akan memberitahunya sekarang." Rinni sedikit tergugu saat berbicara. Kehendaknya sudah mantap namun masih ada keraguan.

Seluruh individu yang berada disana lantas berkumpul. Semuanya sudah siap mendengarkan stori tentang Kaila, dari membuka penutup sumur tua dan merencanakan memakai pakaian merah meskipun sudah terjadi.

Sementara Rafael tetap pada tempatnya, yakni bersebelahan dengan Kaila seraya menggenggam tangan Kaila yang masih kejang-kejang. Secara diam-diam Rafael menguping tuturan Rinni bahwa Kaila melanggar larangan dari penjaga rumah ini terdahulu. Seorang pria paruh baya.

Beberapa menit berlalu Rinni menangis kejer tatkala selesai menceritakannya. Tuntas dan komplit Rinni menceritakan semuanya, bikin Regina mengingat suatu kalimat yang berhubungan pada Kaila yang mengajaknya ke belakang rumah menuju sumur tua.

"YA, aku baru mengingatnya. Kaila pernah memintaku menemaninya ke sumur tua itu." sepasang mata Regina membulat sempurna. Melenguh sejenak tak percaya ia ingat. Otak ini mudah sekali melupakan hal apapun, kecuali camilan.

Lia berupaya menenangkan Rinni yang sedang menangis. Seharusnya dirinya dan Regina marah atas perbuatan Kaila, juga Rinni turut andil. Tetapi dengan keadaan sekarang Lia menahan diri supaya tak merusak suasana.

"Maafkan aku. Aku sangat bodoh. Dan sebenarnya aku hanya mau mendapatkan penampakkan hantu merah itu lagi, sebab ketika mendengar piring jatuh diruang tamu aku merekamnya menggunakan hp. Disitulah aku melihatnya sangat jelas. Tanpa berpikir panjang serta syok, aku langsung melemparnya lalu menghapusnya." ucapan Rinni begitu panjang lebar diiringi tangisan.

Lia benar-benar kasihan pada Rinni. Rinni seakan sekuat tenaga menutupi ulah Kaila, yang mendatangkan mala petaka tersendiri. "Udah-udah, jangan menangis lagi," lembutnya mengusap air mata Rinni yang bercucuran.

Rinni berseri-seri. "Apa kamu enggak marah? Karena aku sudah jahat menyembunyikannya. Aku takut kamu dan Regina akan memarahi dan membentak diriku." suara Rinni bagaikan menggigil.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang