Tengah malam, tepatnya pukul 01.30 Badai dan dedaunan terdengar begitu bising. Lama-kelamaan air hujan turun dari atas langit. Semakin lama, rintik-rintiknya bertambah deras membasahi bumi.
Terdengar bunyi hujan yang kencang serta badai, seorang gadis terbangun lalu bangkit dari ranjangnya. Terasa sekali tenggerokan sangat kering memutuskan untuk turun ke lantai dasar.
Dengan langkah gontai Lia menuruni satu-persatu tangga. Cahaya lampu yang terang sudah menyambutnya sampai diakhir tangga. Hal pertama yang diperhatikan adalah menoleh kiri dan kanan, buat memastikan lampu ruang tamu dan dapur tak menyalah.
Mata yang dipaksa bangun selalu menyipit, sulit melebarkan seperti sedia kala. Tatapan yang tak jelas membuahkan Lia memegang tembok dan benda lainnya disekitarnya dengan hati-hati.
Mengitari separuh meja makan, sampailah di kulkas. Membukanya dengan lemas, namun pasti. Ada tiga botol minuman beserta merek berbeda-beda. Lia hafal jenis minuman miliknya. Refleks, ia meraih dan langsung meneguk.
"Segar... hujan-hujan minum minuman dingin," ucap Lia, menempatkan kembali botolnya. Sesudah memulihkan kerongkongan yang kering Lia lekas menekan tombol sakelar listrik.
Jadilah terang. Sempat lupa barusan ketika melewati tembok ujung lorong, karena Lia tak sabar ingin segera minum. Berhubung hujan, ia sengaja membuka ventilasi dapur. Melihati gemercik air jatuh ke bumi.
Merasakan titik-titik air berjatuhan menggunakan satu telapak tangan, arus udara begitu kuat membuat Lia menikmatinya. Hawanya dingin, tetapi sejuk. Merapatkan indra penglihatannya merasakan lebih dalam suasana ini.
"Gak nyangka, dua hari lagi masuk kuliah," gembira Lia, sedikit-sedikit membayangkan wajah Azlan yang tampan sekali baginya. "Kenapa si, selalu pikun mulu membuka whatsaap," gerutunya kesal. Gara-gara jarang ada orang yang mengirimkan pesan, alhasil Lia jadi kebiasaan tidak mengeceknya.
Cukup lama menikmati hujan dan angin, Lia bergegas menutup jendela kembali. Selesai melakukannya, ia melangkahkan kaki menuju kamar.
Belum lama berjalan ia melihat sekelebat merah melintas seperti mengarah ke kamar mandi.
"Kai, itu kamu?" lirih Lia, memperhatikan pintu kamar mandi yang tertutup. Saat ingin mendekatinya mendadak Kekecutan hati mulai melanda. Namun Lia mencoba memberanikan diri.
Ia merasa ada sepasang mata yang terus mengamati gerak-geriknya. Jantung memompa lebih cepat. panas---dingin menjalar ke seluruh tubuh. Tak kuat mengalami situasi mencekam, Lia memutuskan berlari menuju arah tangga.
Tepat saat dibelokan hendak menaiki anak tangga. Lia tak menyangka, pertama kalinya melihat hantu merah.
Mata Lia membulat nyaris keluar. Kini, ia sedang menatapnya. Mukanya benar-benar menyeramkan, sekaligus jijik. Rasanya mau muntah saja ketika mencium bau anyir darah di wajahnya, jika betul-betul merasai aromanya. Kalau sekilas memang tidak akan bisa merasakan.
Lia terus-menerus menghirup rakus udara beradu darah kental itu, lantaran muka hantu merah sangat dekat didepan wajahnya. Hampir menempel.
Penglihatan Lia lamban-lamban mengatup. Memegang tembok untuk mengimbangi badannya, sayangnya gagal. Ia memasrahkan tubuhnya jatuh ke lantai. Terakhir kali yang Lia lihat adalah hantu merah tetap pada tempatnya, tak bergeming dan tatapannya lurus.
**
"Lia! Lia! Bangun!" titah Regina menepuk-nepuk pipi Lia. Awalnya Regina rada terkejut tiba-tiba ada Lia terkapar di lantai bawah, dekat tangga. Perkiraan Regina, sahabatnya ini tidur berjalan.
Samar-samar Lia membuka matanya. Pertama yang ia lihat adalah Regina tengah memperhatikannya. Terlihat raut khawatir di wajah sahabatnya, pelan-pelan Lia mengumpulkan nyawa persis seperti bangun tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
MERAH [END]
Ужасыberkeinginan tinggal bersama para sahabat memang hal yang umum. Tapi apa daya jika mereka tak terlalu cukup uang untuk membeli tempat tinggal yang lebih memadai? Usaha pencapaian hasil yang memuaskan dan berhasil membeli tempat tinggal, mereka mulai...