31

46 13 7
                                    

Ibu Mei menyerana sejak tadi mengeluarkan kekuatannya melawan hantu merah. Kini Rinni sudah aman, hantu merah sudah pergi dari tubuh Rinni. Sepertinya hantu bak iblis itu takut karena sang Ibu mengalahkan daya kepunyaannya.

Bersyukur tetap di ucapkan di dalam batin Ibu Mei. Usahanya tak sia-sia menyelamatkan Rinni, namun terselip kesedihan dan ambyar lantaran kematian Kaila. Seenggaknya Rinni dapat ditolong tepat waktu.

Lia sedang menyeruput segelas air putih yang diambilkan oleh Azlan barusan. Lehernya nyeri saat dipegang serta mungkin memerah karena tekanan kuat dari hantu merah. Hembusan angin tadi lumayan kencang hingga jeratan yang diberikan hantu merah terlepas.

Ibarat di pertengahan maut, alhasil Lia tidak melihat dengan pasti darimana asalnya angin itu. Hampir saja Lia kehilangan nyawanya apabila arus udara tak sampai datang. Sedikit-sedikit, Lia meminum cairan bening di gelas lalu beralih melihat Rinni masih menutup mata.

"Kalian lihat? Ibu Mei seperti di film-film." Regina heboh habis menyaksikan peristiwa tadi. Dapat dilihat hantu merah langsung keluar, dan Rinni jatuh di atas tempat tidur. Beserta Lia ikutan lepas.

"Aku melihatnya," sambung Rafael turut memuji kekuatan sang Ibu. Ia sama dengan Regina memandang udara berhembus kencang. Sedangkan Azlan sibuk memegangi Lia.

Azlan tak mengerti apa yang diomongi Regina dan Rafael. "Maksudnya? Memang apa? Aku gak melihatnya." Azlan menggaruk kepala. Pasalnya ia tadi khawatir banget terhadap Lia. Lagian hantu merah gak ada akhlak.

Regina tersenyum jahil. "Yaiya, takut kehilangan Lia," ledek Regina menampilkan senyuman miring kepada Azlan yang tengah memelototi  dirinya dan Rafael.

Sesaat mendelik kepada Regina dan Rafael, Azlan menjadi salah tingkah. "Apa sih kalian. Aku itu berdiri disamping Lia, ya jelas panik lah," elak Azlan sesekali batinnya mengumpat. Semoga aja Rafael tak ikut-ikutan.

Rafael tertawa dalam diam. "Udahlah, Re, nanti ada yang marah," ujar Rafael meredakan ledekan Regina yang otw ditambahkan. Ah, dirinya lagi menyembunyikan rahasia tentang Azlan menyukai Lia. Jadinya, ia sebagai sahabat yang baik tidak akan membongkarnya.

Ketenangan mulai menguasai. "Anak pintar." Azlan menganggukkan kepala, mengisyaratkan Rafael memang yang terbaik mampu menahan candaan Regina sekaligus kebenaran.

Ibu Mei berpindah posisi dari sudut kasur. "Sebentar lagi Rinni akan sadar, Ibu mau bersemedi dulu," peringat sang Ibu tertuju ke semua anak muda.

Ada degupan jantung berdetak tak normal saat menyimak tuturan Regina barusan. Ada senang, ada sedih. Regina hanya bercanda, tidak betul-betul Azlan mencintainya dan mengkhawatirkannya.

Lia memilih diam, tidak mengeluarkan kata. Ingin menyembunyikan kecanggungannya jika ia mulai melontarkan kalimat. Akibatnya nanti kedua pipi Lia memerah seperti tomat. Kan bikin malu aja kalau sampai terjadi.

Regina paham, Azlan tak mau ketara bahwa dia memang mencintai Lia. Bisa jadi, Azlan baru pertama kali menyukai perempuan sehingga dia diam-diam dahulu, tidak mau mengumbar. Kasihan sih di masa sekolah dasar, Azlan dijauhi lantaran dia anak aneh di kelasnya.

Pakai segala Regina ikut-ikutan menjauhi Azlan. Biasalah anak kecil mengikuti teman-temannya. Pikirannya masih belum luas dan dewasa, hingga akhirnya, Azlan sekarang tak seperti dulu bertingkah absurd.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang