30

44 12 5
                                    

Melirik tajam nan lekat terhadap hiasan beling di dalam lemari hias, mencoba mencari kejanggalan atas suara gerabah yang jatuh terbentur ke lantai. Aneh sekali dan langka, tak ada sama sekali benda apapun terjatuh berulang kali sesuai cerita Lia. Hm, pasti ada kaitannya dengan hantu merah.

Batinnya seakan menarik untuk membuka knop. Tidak bisa menahan rasa penasarannya, sang Ibu lantas mencengkeram daun lemari hias. Tak terlalu sulit saat proses membukanya. Lama memandang berbagai benda beling di dalamnya, lengan kanan Ibu Mei terangkat ingin memegang benda yang ada disana.

Mencengkam pegangan antara piring dan tapak tangan, Ibu Mei menutup kedua matanya, mengekspos portal penerawangannya. Samar-samar dapat dilihat seorang wanita dan pria yang sepertinya tengah bertengkar. Sang perempuan memohon entah karena apa.

Beberapa menit kemudian ketika si pria pergi, wanita itu bagaikan frustasi. Tanpa berhati-hati ia membuka kasar lemari hias lalu mengambil satu piring dan membantingnya begitu kencang hingga menimbulkan pecahan-pecahan beling.

Tak sampai disitu saja, sang Ibu membuka kembali penglihatannya. Ia melepas tangannya dari piring tersebut. Dapat dilihat, dan baru menyadari bahwa wadah berbentuk bundar itu memang kurang satu. Celah-celahnya sangat ketara jika mengamatinya dengan cermat. Beda halnya dengan gelas yang nyatanya lengkap.

"Tadi maksudnya apa? Si perempuan mungkin ditinggal oleh si pria? Lalu ditinggalkan sendiri?" gumam Ibu Mei sambil mengusap dada karena ngos-ngosan. Rasanya susah sekali menguak misteri hantu merah.

"Bu, cobain telur ceplokku. Apa ... enak?" setengah berlari, Regina menyodorkan satu buah piring berisi telur mata sapi. Kuning-kuningnya separuh matang. Hehe, padahal Ibu Mei belum mencicipi udah bertanya 'Enak?' Ck ck.

Sang Ibu menampilkan senyuman getir. Ia belum menenangkan pikirannya lantaran yang dilihatnya barusan hasil dari penerawang. "Sini, Ibu cicipi." Mengambil sendok untuk mencedok. "Lezat, lezat," puji Ibu Mei seraya mengacungkan jempol.

Jelas raut wajah Regina gembira. "Makasih, Bu." setelah mengucapkannya, Regina berlari kecil menuju dapur. Sejujurnya rasanya asin, tapi biarkanlah.

Selesai makan-makan, kini ruang tamu sepi namun kesempatan bagi sang Ibu untuk menggali perihal suara beling terjatuh. Bedanya sekarang Ibu Mei mendapatkannya walau tak sampai tuntas. Pelan-pelan saja menyingkapkan masa lalu kehidupan hantu merah.

Air suci sudah tidak ada di setiap sudut bangunan ini. Sang Ibu akan menunggu gangguan dari hantu merah. Sebetulnya apa yang hantu merah mau? Hingga merenggut nyawa Kaila? Ya, biarpun melanggar seenggaknya tak sampai menghilangkan nyawa.

Entahlah apa yang menyebabkan semua yang awalnya melahap makanan di ruang tamu secara tiba-tiba berpindah ke meja makan di dapur. Mungkin mengikuti Regina karena dia pindah alhasil pada ikut-ikutan.

Sementara Ibu Mei tidak ikut. Ia merasa mendapat kesempatan buat menerawang sesuatu. Hasilnya berhasil namun hanya sedikit tak sampai mendalam meskipun cuma secuil cuplikan. Itupun memperagakan si perempuan di tinggal pergi oleh si pria. Serta tak lama si perempuan membanting piring.

Batas waktunya adalah besok menanti usikan yang akan dilakukan oleh hantu merah. Ingin tahu, hantu merah masih menginginkan nyawa manusia atau hanya Kaila saja yang diambil? Soal yang sulit untuk dipecahkan.

Kepala Rafael tetap pening dan berdenyut sehingga dirinya terdiam mulu sejak tadi momen makan-makan. "Aku udah menghubungi Mama Kaila. Dia berkata akan segera datang," ucap Rafael secara mendadak.

MERAH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang