31. Sebuah Pilihan

160 26 12
                                    

Seseorang dengan jas serba putih itu baru saja menyelesaikan tugasnya memeriksa keadaan deka. Sedangkan deka sendiri, masih terbaring dengan selang oksigen yang di pasang di kedua lubang hidungnya. Namun, untungnya deka tidak sampai harus di rawat di rumah sakit, ia hanya di periksa di rumahnya sendiri karena fika yang memanggil dokter agar ke rumahnya.

Dokter beranjak dari duduknya di tepi kasur deka, dan ia menghampiri fika yang berdiri tidak jauh dari deka berbaring. Lalu kemudian mereka kompak keluar dari kamar deka.

"Gimana keadaannya dok?". Tanya fika pada dokter saat mereka sudah di luar.

"Kondisinya lumayan drop hari ini. Tapi ibu tidak usah khawatir, karena gejala-gejala seperti ini sudah biasa di alami oleh penderita kanker darah. Tapi hanya karena alasan ini, saya menyarankan untuk tidak di biarkan. Dan setelah saya teliti kembali, satu-satunya jalan deka bisa sembuh, deka harus melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang bu". Jelas dokter pada fika.

"Operasi sumsum tulang belakang?".

"Iya bu, dan itu juga tidak bisa sembarang orang bisa mendonorkan sumsum tulang belakang itu pada deka, karena hanya bisa di lakukan kalo sumsum tulang belakang itu cocok dengan deka. Tapi, untuk saat ini masih jarang sekali orang yang mau cuma-cuma mendonorkannya. Dan saya juga belum bisa membantu, masih banyak pasien yang harus saya tangani bu".

Fika memijit pelan pelipisnya, terlihat juga ia memejamkan matanya untuk sekedar merilekskan pikirannya untuk tidak memikirkan kondisi deka yang semakin hari semakin terlihat memburuk saja.

"Oh ya untuk mencegah kondisinya semakin drop, ini resep obat yang harus ibu tebus". Dokter itu menyerahkan selembar kertas pada fika. "Kalo begitu saya permisi ya bu". Ucap dokter lagi untuk pamit lantas berjalan keluar meninggalkan fika.

Fika menghela nafasnya kasar. Lalu ia berjalan kembali untuk masuk ke dalam kamar deka. Di lihatnya putranya masih terbaring, tetapi matanya sudah terbuka.

"Gimana? Udah enakan?". Tanya fika sembari mengusap wajah deka lembut dan duduk di tepi kasur, tepat di samping deka.

Deka mengangguk.

Fika tersenyum tipis, lalu tangannya kini menggenggam tangan kiri deka yang tertancap infus. Deka menatap fika penuh arti.

"Mama kenapa bersikap seperti itu sama lisa? Lisa gak salah ma". Lirih deka beranjak bangun dari tidurnya dan bersandar di kepala ranjang.

Fika menghela nafas kasar lagi.
"Deka mama kan udah bilang tadi. Kamu gak usah lagi bela lisa, gara-gara kamu antar-jemput lisa kan makanya kamu jadi kebablasan main. pasti lisa yang ngajak". Elak fika merasa kesal karena deka kembali membahas lisa.

"Ma.. itu gak bener. Justru deka yang ngajak lisa main. Tadinya lisa udah nolak, tapi deka yang maksa. Deka kangen jalan bareng sama lisa".

"Dan sampai kamu korbanin kondisi kamu yang mudah drop gini?". Tanya fika. "Udah lah sayang, kamu gak perlu lagi harapin lisa. Kalo lisanya gak mau ya udah gak usah di paksa, kalo lisanya udah punya cowok lain ya udah biarin. Sekarang kamu fokus aja sama kesehatan kamu. Mama gak mau liat kamu begini terus..". Lanjut fika dengan suara yang sudah mulai bergetar menahan air matanya yang akan keluar.

Deka terdiam. Ia lebih memilih untuk memejamkan matanya. Terlihat dari raut wajahnya ia sangat terbebani.

"Deka?". Panggil fika.

"Hemm..". Sahut deka membuka sedikit matanya.

"Kamu home scholling aja ya? Mama kasihan sama kamu, kamu capek". Pinta fika pada deka.

Deka menggeleng.
"Gak ma. Deka masih tetep mau sekolah kaya biasa aja, deka masih tetep pingin bareng sama temen-temen deka. Lagi pula kan sekolah deka tinggal 2 bulan lagi, itu juga nanti kepotong sama deka yang bentar lagi ujian". Tolak deka.

Romantic (Donghyuk-Lisa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang