35. Terbongkar

179 25 33
                                    

"Deka..?".

Tok..tok..tok...

"Sayang buka pintunya nak. Kamu dari siang belum makan loh". Kata fika yang terus mengetuk pintu kamar deka yang sepulang dari acara perpisahan sekolahnya, ia hanya mengurung diri di kamar.

Rasa sakit di hati deka, masih terus terus menyiksa setelah mengetahui kebenaran yang di tutupi oleh gadis yang amat ia sayangi selama 3 minggu ini. Mengharap, hari ini adalah hari bahagianya namun semua justru terbalik. Hari ini, ia merasa di khianati. Menahan sakit di tubuhnya, sekaligus dengan sakit di hatinya.

"Deka. Buka dong pintunya, kamu harus minum obat. Mau sampai kapan kamu mau begini? Sampai menunggu lisa balikan lagi sama kamu? Itu gak mungkin deka, lisa udah sama yang lain. Tolong kamu ngerti". Kata fika yang udah menyerah membujuk deka untuk keluar dari kamar, dengan sangat terpaksa pun ia harus kembali mengungkit kejadian tadi siang.

Ceklek...

Pintu kamar deka terbuka, dan itu membuat fika tersenyum lebar. Akhirnya, setelah beberapa saat membujuk sang anak. Deka mau keluar dari kamarnya. Kondisi yang pertama kali fika lihat ialah mata deka yang sembab. Mungkin laki-laki ini baru saja menangis keras karena rasa kecewa yang begitu mendalam.

Fika kembali tersenyum, namun senyuman kali ini terlihat getir. Lantas ia pun segera memeluk deka, dan mengusap wajah deka dengan lembut.

"Udah jangan sedih. Kamu masih punya mama". Kata fika mencoba menegarkan deka.

Deka menatap manik mata mamanya.
"Jangan sebut nama lisa lagi di depan deka ma. Semakin, deka denger nama itu. Semakin sakit, hati deka". Kata deka dengan lirih.

Fika mengangguk, lantas ia kembali mengusap rambut anaknya. Namun, yang mengejutkan tangan fika kini terdapat banyak rambut yang terlepas dari kulit kepala deka. Fika, menahan air matanya. Mengerti, apa yang kini kembali terjadi dengan anaknya.

Efek kemoterapy yang sudah lama deka jalani saat ini, kini sudah terlihat dampaknya. Yaitu, dengan rontoknya rambut deka yang setiap hari terus berkurang. Kanker darah yang di idapnya pun semakin lama, bukannya membaik kini justru semakin menggerogoti tubuh deka. Tidak ada perubahan sama sekali dengan pengobatan yang di jalaninya. Karena, memang dokter sudah menjelaskan deka akan sembuh jika ia mendapat donor sumsum tulang belakang, dan melakukan operasi secepatnya. Namun, sampai saat ini fika masih belum bisa mendapatkan donor itu. Lalu bagaimana nasib deka nantinya? Matikah dia?.

"Mama nangis?". Tanya deka karena terkejut fika yang mengeluarkan air matanya.

Fika segera menghapus pipinya dengan cepat, ia juga menyembunyikan rambut-rambut deka, di saku belakang celananya agar deka tidak tau. Lalu ia menggeleng dan tersenyum.

"Enggak kok. Mama sedih aja, kamu seharian ini belum makan. Mama khawatir, nanti sakit kamu kambuh lagi". Ucap fika dengan sedihnya.

Deka menghela nafas kasar.
"Deka gak lapar ma". Balas deka dengan wajah yang kembali murung.

"Deka jangan begitu dong. Kamu gak kasihan sama mama udah capek capek masak banyak tapi kamu gak makan sama sekali? Kamu mau bikin mama sedih?".

"Bukan begitu ma, tapi~".

"Ya udah deh kalo kamu gak mau makan. Mau mama kasih kucing aja makanannya". Kata fika memotong ucapan deka lalu ia berbalik hendak meninggalkan deka.

Deka menahan lengan fika.
"Mama marah?". Tanya deka menyesal.

Fika hanya diam. Ia tak menjawab, pertanyaan dari anaknya.

"Deka mau makan ma. Tapi, nanti deka nyusul". Kata deka, yang kembali membuat fika tersenyum puas dengan ucapan anaknya.

Romantic (Donghyuk-Lisa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang