17. Aku Pilih Malam

1.4K 150 5
                                    

Aku bangun dari tidurku ketika jam menunjukkan pukul satu siang, uh beruntung hari ini adalah hari minggu jika tidak aku pasti dalam masalah karena bangun kesiangan.

Aku mengambil posisi duduk sambil menahan selimut untuk tetap menutupi tubuh polosku. Mataku tertuju kepada vas kaca yang berisi air dan juga tiga tangkai bunga anyelir yang aku berikan untuk Vanno kemarin malam, senyum tipis terlukis dan bertahan cukup lama di bibirku melihat tiga tangkai bunga anyelir itu.

Tapi di mana kekasihku?

"Vanno" panggilku dengan suara yang masih parau. Tampaknya Vanno tidak ada di dalam kamar mandi atau pun walk in closet, dia pasti sedang latihan di studio bersama teman-temannya atau pergi untuk mengurus pekerjaannya. Aku tidak tahu, Vanno adalah pria yang sibuk sekarang.

Aku turun dari ranjang dengan selimut yang senantiasa melilit tubuhku, aku menghampiri anyelir-anyelir yang cantik lalu menghirup aromanya cukup lama. Wanginya yang enak membuat aku betah, sehingga tanpa aku sadari seseorang berdiri di ambang pintu kamar sambil memandangiku sejak aku tenggalam bersama tiga tangkai bunga anyelir yang wangi.

Itu dia, kekasihku, Giovanno.

Tanpa sengaja mata kami bertabrakan dan aku langsung memerah mengingat percintaan panas kemarin malam. Dia menyentuhku dengan penuh kerinduan, tidak membiarkan aku lepas dari pelukannya barang sedetik pun, mungkin karena dirinya lah aku bangun kesiangan.

"Hai" sapaku mendadak canggung.

Vanno menutup pintu kamarnya lalu berjalan menghampiriku. Kedua tanganku memegang erat selimut yang melilit tubuhku yang polos. Kini ia berdiri tepat di hadapanku, menatapku dengan binar kekaguman secara terang-terangan lalu menyelipkan helaian rambutku yang nakal ke belakang telinga.

"Baru bangun?" tanyanya. Aku mengangguk tanpa bisa berkata-kata.

Vanno mengecup dahiku lalu membawa tubuhku ke dalam pelukannya, suara detak jantungnya yang berirama membuat pagiku yang terlambat terasa begitu indah. Pikiranku melayang, membayangkan setiap pagi yang aku lalui seperti ini setiap harinya bersama Vanno. Mungkinkah itu terjadi? aku kurang percaya diri bahkan hanya sekedar untuk membayangkan bahwa kelak aku akan menjadi istrinya. Ya, kami memang saling mencintai namun entah kenapa semua itu terasa mustahil.

Dia sosok yang berbeda sekarang, bukan lagi Vanno yang hanya bernyanyi dan bermain gitar untuk dirinya sendiri. Dia adalah seorang bintang, dia bisa menunjuk gadis mana pun yang lebih baik daripada aku untuk dia nikahi.

Pelukan kami berakhir lalu Vanno mengambil satu tangkai anyelir dari vas untuk dia berikan kepadaku. Aku tidak tahu untuk apa dia memberikan setangkai anyelir itu, Vanno memang selalu aneh.

"Mandi gih, gue sama anak-anak nungguin lo buat makan siang" kata Vanno.

Aku mengangguk lalu berjinjit untuk mengecup bibirnya, "Oke" sahutku. Dapat aku rasakan mata itu masih memperhatikanku saat aku sudah berbalik dan berjalan menuju ke kamar mandi.

Aku mandi dengan cepat dan mengenakan kemeja putih milik Vanno karena tidak membawa pakaianku kemari. Aku tidak punya rencana menginap sebelumnya, namun Vanno tidak membiarkan aku keluar dari kamarmya kemarin malam sebagai tebusan atas kesalahanku yang melupakan hari ulang tahunnya.

Kubungkus rambutku yang basah dengan handuk kecil kemudian aku berjalan keluar dari kamar karena tidak ingin membuat Vanno dan teman-temannya menunggu terlalu lama. Mereka sudah berkumpul di meja makan sambil membicarakan konser yang akan berlangsung di Bali besok, aku mengambil duduk di samping Vanno dan Memet langsung menggodaku, "Keramas nih?"

Ah, sialan.

Aku menghiraukan Memet dan juga teman-teman Vanno yang mulai cekikikan, beginilah Young Blood jika tidak berada di atas panggung, dari Rocker beralih menjadi emak-emak rumpi.

Pulang (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang