27. Pupus

1.4K 146 18
                                    

Kenangan-kenangan yang indah menyerbu ingatanku saat aku kembali menyusuri jalanan kota ini. Di dalam taksi menuju ke rumah Young Blood aku melihat kami yang dulu, aku dan Vanno yang sedang berkendara dengan motor antiknya di sepanjang jalan yang aku lewati.

Tenggorokkanku terasa perih, aku merindukannya dan ingin membawa kenangan itu kembali. Merasakan lagi kesederhanaan yang pernah aku lewati bersama kekasihku, canda dan tawa, gurauan, saling menjahili, pertengkaran kecil, dan cinta yang utuh.

Hembusan angin mengibaskan rambut hitam panjangku saat aku menurunkan kaca jendela mobil taksi yang aku tumpangi. Harum tanah sehabis hujan menarik diriku kembali kepada setiap tetes rintik yang telah aku lewati di sini, setiap rintik yang penuh suka dan juga duka yang tak terelakkan.

Ketika aku memejamkan mata menikmati diriku yang terbuai di dalam kenangan yang aku lihat dengan mata tertutup adalah wajah Papaku, wajah Vanno, dan wajah Daniel Andreas. Ketiga pria itu yang pernah menemani hari-hariku di kota ini, ketiga orang yang memperkenalkan aku kepada cinta, kasih sayang, ketulusan, pengkhianatan, dan juga luka.

"Mbak, kaca mobilnya bisa dinaikin aja? Sayang AC-nya, mubazir" suara sopir taksi menarik kesadaranku kembali. Aku meminta maaf dengan canggung lalu menaikkan kaca jendela mobil hingga tertutup.

Aku masih menatap keluar jendela, melihat-lihat apa yang bisa menarikku kembali ke dalam kenangan yang indah. Namun itu tidak berhasil karena yang muncul di kepalaku malah video amatir Vanno saat konser, sikap tempramentalnya, wajah agresifnya, dan kekasarannya.

Tidak sabar rasanya ingin bertemu dengan Vanno untuk melihat keadaannya, sekacau apa dia dan apa penyebabnya. Apakah dia menjadi tidak terkendali karena kepergianku? Atau ada hal lain yang mempengaruhi dirinya?

Aku berhenti menerka-nerka saat kepalaku mulai panas memikirkan masalah yang pelik ini. Taksi berbelok memasuki kawasan perumahan elit yang berada di tengah-tengah kota metropolitan. Aku mengarahkan sopir yang sedang menyetir menuju ke rumah band papan atas, Young Blood. Aku harap mereka ada di rumah, terutama Vanno.

Sesampainya taksi di depan rumah Young Blood aku melihat banyak wartawan yang berdiri di depan pagar dengan kamera yang ada di tangan mereka. Dua orang sibuk mengintip keadaan yang ada di balik pagar rumah Young Blood dengan memanjat tembok, sementara yang lain memilih menunggu di bawah.

"Wah rame bener! Ini rumahnya artis ya, mbak?" tanya sopir taksi.

Aku mengangguk, "Ya, ini rumah Young Blood" jawabku.

"Wah, anak saya ngefans banget sama Young Blood!" serunya. Sambil terkekeh geli aku menyerahkan tarif sesuai argo kepada sopir taksi.

Aku turun dari mobil dengan menggunakan kaca mata hitamku, berharap tidak ada yang mengenaliku di antara para wartawan-wartawan itu. Aku mengeluarkan catatan kecil yang ada di tasku dan juga pulpen, berpura-pura menjadi bagian dari mereka sehingga tidak ada yang mencurigaiku.

Para wartawan semakin ramai berdatangan, aku nekat menerobos mereka untuk sampai di depan gerbang. Gerbang terkunci dan aku tidak melihat adanya satpam yang biasa menjaga rumah ini. Apakah Young Blood tidak ada di rumah? Tidak mungkin para wartawan berkumpul di sini jika artis yang mereka cari-cari tidak ada di dalam.

"Mbak, mbak, dari TV mana?" tanya seorang wanita yang berdiri di sebelahku.

Aku tersentak lalu menjawab, "Ah, saya dari tabloit yang ga terlalu terkenal, gausah dipikirin" aku tertawa resah takut ia mengenaliku. Wanita itu mengangguk dan aku memberanikan diri untuk melemparkan pertanyaan, "Kira-kira Young Blood ada di dalem gak ya?"

"Sejak vokalisnya nimpukin gitar ke muka penonton, Young Blood mengundur tur konsernya mbak. So, aku yakin pasti mereka ngurung diri di rumah" jawab wanita itu. Ah ya, Bang Ghali pasti yang mengundur tur konser itu dan mengambil waktu rehat sejenak di situasi yang sedang panas-panasnya akibat ulah Vanno.

Merasa tidak ada hasil menunggu kedatangan satpam yang akan membukakan pintu, aku keluar dari kerumunan dan menjauh mencari tempat yang aman untuk menghubungi Vanno, aku harap dia mau mengangkatnya.

Sayang sekali harapanku tidak terpenuhi. Berkali-kali aku mencoba menghubungi Vanno namun pria itu tak kunjung mengangkat panggilan dariku. Apa dia kesal karena aku tidak membalas pesannya yang terakhir kali? Ya, mungkin saja. Tapi aku tetap gigih untuk bertemu dengannya apa pun yang akan terjadi nanti, aku tidak peduli.

Bersama para wartawan itu aku berdiri di depan gerbang rumah Young Blood, berharap dan terus menunggu salah satu dari teman Vanno keluar dari dalam rumah dan membawaku masuk. Tapi itu mustahil, mereka sengaja mengurung diri di dalam rumah untuk menghindari para wartawan.

Bunyi klakson mobil membuat aku dan para wartawan menjadi terkejut. Para wartawan menyingkir dari depan pagar dan bersiap-siap dengan kamera mereka untuk meliput orang yang ada di dalam mobil.

Kaca jendela mobil turun dan terbuka, aku melihat sosok Bang Ghali yang duduk di kursi kemudi. Dia membuka kaca mata hitamnya lalu tampak terkejut menangkap kehadiranku. Aku benci harus meminta bantuannya, tapi hanya dialah satu-satunya harapanku saat ini.

Saat aku hendak berjalan maju, para wartawan lain juga maju dan menyerbu manajer Young Blood dengan serentetan pertanyaan mengenai serangan yang Vanno lakukan kepada salah satu penggemarnya. Aku berusaha menyalip kerumunan wartawan hingga akhirnya aku berdiri tepat di hadapan Bang Ghali.

"Aku ingin bertemu Vanno" Kataku berbisik.

Matanya menatap diriku dengan tajam. Dia kembali memakau kaca mata hitamnya lalu menutup kaca mobilnya. Aku tercengang tidak percaya bahwa Bang Ghali baru saja mengabaikanku, menganggap aku layaknya sampah yang telah ia buang. Bunyi klakson mobil membuat aku kembali tersadar. Gerbang terbuka dan dua orang satpam baru yang tidak aku kenal menghalangi para wartawan yang hendak menerobos masuk.

Aku masih berdiri di tempatku, menatap nanar mobil hitam  mengkilat memasuki gerbang rumah Young Blood lalu gerbang tertutup bersama dengan pupusnya harapanku untuk bertemu dengan kekasihku.

Tuhan, mengapa begitu sulit hanya untuk bertemu dengan Vanno?

Tanpa semangat aku berjalan ke jalan seberang, duduk di atas pembatas jalan sambil memandangi para wartawan yang masih sibuk mengurus pekerjaan mereka. Di balik kacamata hitamku air mata sudah berkumpul. Aku mendomgak melihat balkon kamar Vanno yang sepi, pria itu pasti ada di dalam kamarnya saat ini tapi mengapa dia tidak mengangkat panggilan dariku? Apa dia sudah tidak mengharapkan aku untuk kembali?

Oh sial, semua ini salahku!

Aku duduk dari pagi hingga malam di pinggir jalan dengan harapan yang telah pupus. Hari sudah gelap dan satu persatu dari para wartawan itu sudah pergi, meninggalkan aku yang duduk di sini seorang diri.

Gerbang masih tertutup dengan rapat, tidak menunjukkan sedikit pun celah yang dapat aku lewati. Aku sudah menyerah, tapi berat rasanya melangkahkan kaki untuk pergi dari sini. Aku sangat ingin bertemu dengan Vanno, melihat keadaannya dan mengetahui penyebab dari kekacauannya.

Aku ingin tahu mengapa kekasihku berubah.

Kutekuk kedua lututku kemudian kupeluk diriku sendiri ketika angin malam yang dingin mulai membuat sekujur tubuhku merinding. Aku layaknya gembel yang duduk termenung seorang diri di seberang rumah kekasihku, mungkin jika petugas komplek melihatku pasti aku akan langsung diusir.

"Widi?" Suara itu membuat tubuhku membeku, "Lo ngapain duduk sendirian di sini?"

— TBC —

Vote+comment for next!

Pulang (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang