23. Pergi

1.6K 179 22
                                    

Besok paginya aku memutuskan  terbang ke Belanda, aku harus memulai sesuatu untuk diriku sendiri karena selama ini aku terlalu sibuk mengurus keberhasilan orang lain. Koperku sudah aku kemas sejak kemarin malam, aku ingin menghubungi Vanno lagi untuk mengabarkan kepergianku namun aku takut kembali kecewa jika pria itu tidak lagi mengangkatnya. Jadi lebih baik biarkan dia yang menghubungiku terlebih dahulu atau membalas ribuan pesan yang aku kirim kemarin malam.

Pukul 5 pagi aku sudah siap untuk berangkat. Aku berjalan menuju ke kamar Dita untuk membangunkan gadis itu karena Dita ngotot ingin mengantarkan aku ke bandara kemarin malam. Ah, semalam, setelah aku pulang dari pantai timur aku kembali menangis di rumah dan menumpahkan semuanya di hadapan Dita. Dita mendukung ideku untuk mengambil waktu sendirian, bukan artinya aku ingin berpisah dari Vanno, aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri. Itu saja.

Aku menunggu Dita di ruang tengah sambil terus mengecek ponselku, tidak ada balasan pesan atau pun panggilan dari kekasihku sampai detik ini. Apakah sebaiknya aku menghubungi Vanno terlebih dahulu untuk mengabari kepergianku? Aku pikir tidak perlu, dia juga tidak akan sempat membaca pesanku nanti.

Bel rumah berbunyi, dengan enggan aku bangkit dari sofa lalu berjalan menuju ke pintu untuk melihat siapa yang datang pagi-pagi begini. Mungkin itu Tante Tia, pemilik rumah yang aku sewa. Aku membuka pintu dan betapa terkejutnya menemukan Vanno berdiri di hadapanku dengan wajahnya yang gusar, bau alkohol dari tubuhnya menguar dan menyerbu hidungku membuat aku mual.

"Widuri....." Vanno hendak berhambur ke dalam pelukanku namun aku menahan dadanya, dia sedang kacau dan aku tidak siap mengatasinya saat ini, "maaf" ucapnya.

Pria itu berjalan sempoyongan saat aku menariknya masuk ke dalam rumah. Aku kembali menutup pintu,  bersedekap, dan mencoba untuk tidak marah, aku harus menghadapi masalah ini dengan tenang, "Ada apa denganmu?" tanyaku.

Vanno mengusap wajahnya dengan gusar, melihat penyesalan di matanya aku langsung tahu bahwa Vanno sepenuhnya sadar meskipun dia mabuk, "gue ada syuting video klip kemarin malam" jawabnya.

"Dan mabuk?" tanyaku sambil mendengus.

"Maaf," ucapnya lagi, "Gue lupa soal sidang tesis lo kemaren, tim ngajak gue ke bar dan kita minum-minum"

Oh.

Aku memijat pelipisku yang mulai terasa pusing, "Kamu keterlaluan Vanno, aku sudah menghubungimu berkali-kali"

Vanno maju selangkah untuk mendekat, "Hape gue ketinggalan di rumah" jawabnya, "Yang, gue bener-bener minta maaf, gimana kalau kita rayain kelulusan lo hari ini, hm? Gue bebas hari ini"

Aku menggeleng, semuanya sudah terlambat aku sudah terlanjur kecewa kepadanya. Di saat aku menunggunya datang ke sidangku dia malah bersenang-senang di bar bersama timnya. Aku tahu Vanno punya kehidupannya sendiri, dia adalah seorang bintang, tapi tidak bisakah dia meluangkan paling banyak 30 menit untuk memberikan dukungan kepadaku kemarin?

Tenggorokanku mulai terasa perih saat Vanno hendak memelukku, kutolak pelukan itu mentah-mentah dan kudorong dadanya lagi, bau alkohol yang begitu menyengat dari tubuhnya benar-benar mengganggu.

Vanno kembali mundur dengan wajah sedihnya, ia mengambil tanganku untuk digenggam lalu bertanya, "Gimana sidangnya?"

"Bagus, semuanya berjalan dengan lancar meskipun kamu tidak datang" jawabku.

"Yang, gue udah minta maaf" aku tahu, tapi permintaan maaf itu sama sekali tidak memperbaiki suasana hatiku, tidak dapat membuat aku melupakan kekecewaan yang aku telan kemarin malam, dan tidak bisa mengubah keputusanku untuk pergi ke Belanda dan mengambil waktu bagi diriku sendiri sejenak.

Pulang (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang