14. Damai

1.2K 148 11
                                    

Aku terpaku. Suasana terasa semakin tegang ketika seorang wanita paruh baya datang dengan wajah yang basah oleh air mata, oh aku yakin wanita itu adalah ibunya Vanno aku dapat melihat bagaimana cara dia menatap Vanno, tatapan itu hanya dimiliki oleh seorang ibu untuk anaknya.

Vanno menarik aku untuk berdiri di hadapan kedua orang tuanya lalu dengan sopan dia berkata, "Maaf...." tenggorokanku terasa perih ketika melihat tatapan Vanno jatuh kepada ibunya yang terus menangis.

Ayah Vanno yang berdiri di hadapan kami menatap Vanno dengan nyalang, "Kamu baru bilang maaf setelah ngebuang kotoran ke muka keluarga ini? Bertahun-tahun kamu pergi, kamu ga pernah tahu Mama kamu yang sakit-sakitan karena mikirin kamu! Anak ga tahu diri!"

Aku menggigit bibir bawahku cukup kuat, menahan rasa sesak yang memenuhi dadaku. Tuhan, aku saja yang hanya mendengar semua itu merasa sangat sakit hati apalagi Vanno.

"Udah Pa, Udah. Vanno itu masih anak kita" isak ibunya.

Tatapan ayah Vanno jatuh kepadaku dan aku langsung merinding, "Siapa perempuan ini?" tanyanya sambil mencibir, "Kamu pasti udah bikin anak orang bunting dan datang kemari buat minta uang, iya 'kan?"

Mendengar ayahnya yang ikut menyeretku ke dalam hal ini, Vanno menjadi marah. Aku menggenggam erat tangannya ketika dia hendak maju untuk menantang ayahnya. Ini adalah bagianku, aku tidak berniat untuk ikut campur tapi ini adalah kewajibanku untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.

"Maaf Om, Tante, saya ga hamil" kataku, "Saya kemari cuma untuk nemenin Vanno, dia datang buat minta maaf dan dia kangen banget sama keluarganya" ibunya Vanno menatap aku sambil tersenyum tipis, aku membalas senyuman itu seadanya.

Aku lega karena Vanno kembali mundur dan berdiri tepat di sisiku, pria itu mencoba meredakan amarahnya dan berkata, "Vanno minta maaf, kabur dari rumah memang bukan cara yang tepat buat menyelesaikan masalah. Vanno ga pernah berniat untuk meninggalkan keluarga ini, Vanno cuma mau mengejar mimpi Vanno"

Ayahnya terdiam dengan nafas yang memburu.

"Vanno masih remaja waktu itu, Vanno memang egois dan salah paham sama maksud Papa dan Mama yang mau Vanno punya masa depan yang lebih baik lagi, Vanno minta maaf" lanjut Vanno. Aku bangga kepadanya karena dia berhasil menyampaikan maksudnya dengan baik kepada kedua orang tuanya.

Ayah Vanno tersenyum miris sambil menatap Vanno dengan sangat rendah, "Kamu kembali pasti karena kamu udah sadar kalau mimpi kamu itu sampah, 'iya kan?"

Vanno menggeleng dan membantah dengan cara yang sopan, "Enggak, Vanno kemari bukan karena Vanno gagal. Vanno kemari karena Vanno ingin minta maaf sama Papa dan Mama"

Ibu Vanno menatap putranya dengan penuh haru lalu tanpa ragu maju melewati sang suami untuk memeluk anaknya. Air mataku mengalir begitu saja melihat ibu dan anak itu berpelukan, rasanya benar-benar mengharukan sehingga aku tidak bisa menahan air mata yang sedari tadi berkumpul di pelupuk mataku.

Kutatap Ayahnya Vanno yang mulai luluh, pria itu pergi begitu saja meninggalkan ruang tamu tanpa mengatakan apa pun lagi. Aku mengabaikannya, aku tahu Ayahnya pasti sudah tidak ingin mengusir Vanno dari rumah ini lagi.

Vanno memperkenalkan aku kepada ibunya. Pria itu menarik aku untuk kembali berada di sisinya sambil berkata, "Ma, ini Widuri"

Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku kepada Ibunya Vanno, "Saya Widuri, Tante" kataku.

Dengan ramah Ibunya Vanno menyambut uluran tanganku, "Pacarnya Vanno?" tanyanya, pipiku memanas mendapat pertanyaan itu. Vanno dan ibunya menertawakan aku yang mudah tersipu.

"Calon istri" koreksi Vanno dengan cengiran tolol di wajahnya. Aku memukul pelan lengannya sambil menggerutu, "Apaan sih!"

"Saya Mamanya Vanno, Panggil aja Tante Soraya" ucap ibunya Vanno memperkenalkan diri, aku mengangguk paham dan jabatan tangan kami pun usai. Tante Soraya kembali menempel kepada putranya lalu mengajak kami untuk bergabung makan siang bersama dengannya.

Pulang (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang