19. Kembali Trauma

34.8K 2.1K 14
                                    

Lutut Airin masih lemas. Ia tidak merasa ada yang masuk ke toilet. Airin panik. Ia segera berlari untuk mencari orang itu. Ia melirik ke kiri dan ke kanan namun tidak mendapati orang itu. Ia tidak sadar di balik tembok ada seseorang yang menyeringai.

"Kau sangat lucu, honey "

-

Rivan dan sahabat baru saja memasuki kantin. Rivan mengernyitkan dahinya karena tak menemukan tanda-tanda kehadiran Airin. Rivan mengkode sahabat-sahabatnya untuk duduk di meja yang sama dengan sahabat-sahabat Airin.

"Hello, Bidadari-bidadari duniawi. Karena bidadari surgawi cuma Adel seorang" ujar Daffa yang tiba-tiba duduk membuat mereka terkejut.

"Yaelah, ngagetin aja lo!"

Mata Rivan celingak-celinguk melihat keluar kantin. Sahabatnya hanya berdehem sambil mengulum senyum.

"Hmm, Airin gak ke kantin?" tanya Andra yang tau bahwa Rivan tengah mencari kehadiran Airin. Namun gengsi untuk bertanya.

"Eh, iya yah? Lama bener Airin di toilet" jawab Chelsea.

"Mungkin lagi benerin bedak yang luntur" celetuk seseorang membuat atensi mereka teralihkan pada suara tersebut.

"Heh! Lo gak ngaca? Yang biasanya bedakkan itu Airin apa Lo?" sarkas Oliv.

"Lo dah balik, Dy?" tanya Rivan yang melihat kehadiran Melody.

"Papa nelpon gue. Karena papa yang udah gantiin kakek sebagai pemilik sekolah ini. Jadi ketahuan deh"

"Mampus" sorak sahabat Airin dan Rivan.

Tiba-tiba handphone Chelsea berdering. Ia melihat siapa gerangan yang menelponnya. Chelsea mengernyit, melihat nama Airin dilayar handphonnya, untuk apa Airin menelepon?

"Kok Airin nelpon?" tanyanya yang didengar mereka tentunya.

"Aktifkan loud speaker"

Chelsea mengangguk. "Hal–"

"—Chel! Tolong datang ke toilet cewek! Bawa minyak atau bensin yang sekiranya bisa menghilangkan noda spidol permanen!" ujar Airin dengan ngos-ngosan.

"Rin! Lo kenapa?" Dapat dilihat ekspresi wajah yang panik terpantra pada wajah mereka semua.

"Tolong! Gue takut" suara putus asa terdengar di telepon. Rivan yang pertama kali berdiri, kemudian berlari menuju toilet perempuan. Mengabaikan pujian dan sapaan orang yang berlalu lalang. Rivan memasuki toilet, ia melihat Airin yang menenggelamkan wajahnya pada pahanya. Tubuhnya bergetar hebat.

Tangan Airin terangkat untuk menunjuk cermin besar di hadapannya. Rivan membaca kalimat itu dengan seksama.

"Viovi? Jangan-jangan!?" Airin mengangguk membenarkan pemikiran Rivan. "Lo tenang aja, dia gak bakalan kembali lagi"

Tak lama, Chelsea dan yang lainnya datang. Rivan menyuruh Andra menghapus tulisan tersebut. Airin dibimbing Rivan untuk berdiri. Rivan tau, Airin kembali trauma. Airin bukanlah orang yang penakut, ia lebih cenderung cuek pada sekitar. Namun, orang itu mampu membuat tubuh Airin bergerak takut.

-

Airin berjalan terburu-buru ke parkiran saat merasakan ada yang mengikutinya. Tanpa menolehpun ia sudah dapat menebak siapa itu. Namun, orang itu tak dapat diremehkan. Nyawa Airin hampir melayang gara-gara 'dia'. Ia menyesal telah meninggalkan ponselnya di kelas dan menyuruh para sahabat untuk pulang duluan. Rivan? Ia sudah pulang duluan karena Airin beralasan akan pulang bersama Oliv padahal ia membawa mobil.

Saat akan membuka pintu mobil,  Airin merasakan bahunya dipegang. Keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya. Ingatan masa lalu yang membuatnya trauma kembali berputar layaknya kaset rusak.

Perlahan ia menoleh dan terkejut melihat siapa yang ada di hadapannya. "Papa?" Airin tersenyum lega saat melihat papanya–ayah Rivan–yang ada di hadapannya.

"Papa, lama banget kita gak ketemu. Terakhir pas dinner." ujar Airin disertai kekehan. Ia bahkan melupakan seseorang yang selama ini membuatnya takut.

"Kakekmu sudah cukup tua untuk mengelola sekolah ini. Jadi, papa yang menjadi pemilik baru sekolah ini." terangnya.

"Terus, kenapa papa ada disini? Papa gak sibuk?"

"Cuma mau ngeliat sekolah ini aja" Airin ber-oh ria.

"Belum pulang? Sekolah udah pada sepi, lho"

"Ini mau pulang"

Setelah berbincang cukup lama, papa menawarkan tumpangan untuk Airin yang diberikan tolakan halus dari Airin.

-

Airin memasuki rumah setelah memarkirkan mobilnya di garasi. Ia melihat Rivan yang duduk menatapnya di ruang tamu. "Apa Lo!?" tanya Airin yang jengah di tatap Rivan.

"Lo lama! Harusnya cepat pulang! Udah jam segini baru pulang?"

"Tadi bicara sama papa" jawab Airin santai sambil berjalan ke tangga. "Selama ini? Emang berapa jam papa bicara sama Lo?"

"Gausah sok peduli"

Rivan menggeram kesal. Ia menarik tangan Airin hingga sang empu menatapnya garang. "Lo!? Gue capek, Van. Pengen tidur"

"Apa maksud dari tulisan di toilet, tadi? Lo, udah lama dapat teror itu?" Rivan kembali menghujani Airin dengan pertanyaan.

Airin menghela nafas, "Emang Lo peduli? Gak usah pura-pura, gue muak!" Airin mengibaskan tangannya untuk melepaskan cekalan tangan Rivan.

Ia kemudian berjalan dengan kesal menuju kamarnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti, jantungnya berpacu dengan cepat hingga ia membeku karena perkataan Rivan yang tiba-tiba.

"Gue peduli sama Lo! Karena, Lo tunangan gue"

Airin segera menoleh kearah Rivan. Apakah ia tidak salah dengar? "Apa kata Lo tadi? Gak salah dengar gue?"

Rivan menghela nafas gugup kemudian mengangguk, "Lo gak salah dengar, Airin. Gue.. gue peduli sama Lo jadi percayalah."

Entahlah, benar atau tidaknya perkataan Rivan, Airin hanya mengangguk sembari mengulum senyum. Ah, mengapa ia menjadi plin-plan seperti ini.

"Baiklah, gue bakalan cerita semua yang terjadi sama gue selama ini. Puncaknya belakangan ini..."

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang