64. Keberadaan Mysha

16.1K 1.1K 10
                                    

Tubuh Airin membeku, apa tadi? Airin salah dengan, 'kan? Ah, tidak mungkin Allard berbicara seperti itu kepadanya. Tidak mungkin ...

Airin tersenyum tipis, "Ma-maksud Papah?"

Allard menggeleng lemah, ekspresinya melembut seraya menghela nafas. "Maaf, maaf, nak. Maafin Papah."

Airin kembali kebingungan, ia menatap Allard yang matanya sudah berkaca-kaca. Demi apa!? Allard memang karena apa? Airin yang panik segera mendatangi Allard yang mulai memukul dadanya sendiri.

"Pah!? Papah ngapain sih!?"

Sorot mata Allard tampak terluka, ia menatap Airin sendu. "Papah tau apa yang dilakukan oleh Revin."

Airin terdiam, ia cukup terkejut mendengar kalau Allard mengetahui bagaimana Revin saat ini. "Maaf karena telah mengkambinghitamkan kamu."

Airin menggeleng cepat lalu memegang tangan Allard yang memukul dadanya sendiri. "Gak apa-apa, Pah. Gak ada yang salah."

"Maaf karena telah menutup mata."

Airin menghela nafas, untungnya tidak ada kesalahpahaman yang terjadi. Walaupun itu memang terjadi, percayalah Airin tidak akan menyangkal. Biarlah semua terjadi. Ia sudah lelah melawan takdir.

Bersama dengan janinnya ini, ia bisa kembali ke Aussie dan kembali ke kehidupan suramnya.

"Intinya jangan marah sama Revin, Pah. Pemuda itu tidak bersalah ..." ujar Airin.

Allard diam sejenak lalu menatap Airin lekat. "Kalian ... benar-benar melakukan itu?" tanyanya hati-hati membuat Airin meneguk salivanya gugup.

"Ka-kayaknya enggak. Cuma di foto aja." jawabnya gugup lalu memegang perutnya.

Airin baru sadar, kalau Papah dan Ayahnya tidak mungkin dibohongi. Mereka sangat cerdik dengan mencari aktivitas harian Airin.

"Kamu punya penyakit mental?" tanya Allard kembali. Airin terhenyak sebentar, baru saja ia katakan dan hal itu memang terjadi.

"Aku trauma makanya pergi konsultasi dan terapi," jawab gadis itu seadanya.

Keringat dingin mulai muncul dipelipis Airin. Gadis itu mencengkram erat rok sekolahnya. Semoga yang ia takutkan tidak terjadi.

"Jadi mengapa kamu pergi ke dokter kandungan?"

***

"Lo ada masalah, Sha?"

Saat ini Airin dan Elisha sedang berada di kafe tempat mereka bertemu pertama kali. Di kafe yang bernuansakan klasik dengan ukiran kayu yang begitu indah.

Elisha menatap datar gadis dihadapannya. "Terlalu kentara, ya?" tanyanya. Airin menganggguk.

"Lo bisa cerita ke gue." kata Airin. Elisha sudah banyak membantu dirinya, tetapi Airin bahkan tidak tau apa saja permasalahan yang dihadapi oleh Elisha. Ia seperti mengambil keuntungan dengan gadis yang tidak punya teman ini.

"Lo pikir aja masalah lo sendiri, jangan membebani bayi lo dengan banyak permasalahan." ujarnya membuat Airin diam. Mungkin gadis itu belum siap untuk menceritakan semuanya tentang dirinya.

"Oh, ya. Timbal balik perjanjian kita kemarin bagaimana?" Mungkin saja dengan kalimat ini Elisha akan meminta tolong padanya. Gini-gini pun Airin masih ingin menjadi berguna bagi orang-orang terdekatnya.

"Nanti saja di masa depan, ada kalanya, Rin."

Oke, Airin sudah tidak bisa memaksakan diri. Biarlah Elisha dengan segala pemikirannya. Lagipula ia sudah dipusingkan dengan segala permasalahan yang ada, Airin tau kalau Elisha dapat menyelesaikan masalahnya seorang diri.

Gadis itu ... terlalu mandiri dan selalu tidak ingin kelihatan lemah.

Airin juga seperti itu dulunya, membuat benteng tak kasat mata namun ia malah terbuai dalam permasalahan yang ada. Well, setiap orang pasti punya permasalahan yang sama beratnya.

"Apa gue hamil aja, ya?" gumam Elisha membuat Airin melotot kaget. "Lo hamil!?"

Elisha menatap Airin datar lalu menggeleng anggun. "Masih wacana."

"Dengan siapa woi!?"

Elisha hanya tersenyum misterius. "Wah bukan gue aja yang gila karena cinta." Airin menggeleng-gelengkan kepalanya.

Elisha terkekeh, "Gak lah, gue cuma bercanda. Ya kali gue mengikat orang melalui janin yang tidak bersalah. Gak gue banget!" ujarnya membuat Airin bergidik ngeri.

"Makin ke sini lo suka bercanda. Bercanda lo ngeri."

"Oh, ya. Tadi kata lo mau cerita?" kata Elisha.

Airin diam beberapa detik, wajah dirinya dan Elisha tampak serius. "Tadi gue ketemu Papah."

"Om Allard atau Om Sanjaya?" Elisha mengerutkan keningnya. Airin tersenyum kecil. "Papah Allard. Gue kaget pas dituduh selingkuh."

Elisha masih menampilkan ekspresi datar dengan mata tajamnya yang berubah menjadi sayu. "Tapi, Papah kayaknya lagi gelap mata jadi gak ada pilihan selain melampiaskan semua kepada gue. Walaupun darah lebih kental dari air, yang baru akan kalah dengan yang lama bertahan, bukan?"

Elisha menatap miris kuku-kukunya. "Tergantung. Lo ada dipihak yang lama dan bertahan. Walaupun begitu, yang lama juga bisa tersingkirkan oleh yang baru, apalagi orang baru itu punya darah yang sama mengalirnya dengan Om Allard."

Airin menghela nafas. "Ya, untuk saat ini gue masih bisa bertahan. Kita lihat aja, apa yang akan dilakukan Revin."

Elisha hanya menampilkan wajah santai lalu meminum teh yang ia pesan sebelumnya. "Revin, pemuda itu terlalu bodoh. Cowok kayak dia gak bakalan bisa bertahan di dunia yang kejam ini." gumamnya tapi masih bisa didengar oleh Airin.

"Iya, sih. Tapi dalam kasus Revin sama kayak gue, yang lama dan bertahan itu lebih berharga daripada gue dan keluarga gue yang baru aja masuk ke kehidupan Revin."

"Gimana pun, ibu tetaplah ibu, gitu biasanya pola pikir anak. Revin itu cowok yang apa-apa bisa memaklumi. Tapi ... hasutan berbicara lain, bukan?" Elisha terkekeh sinis.

"Kalau dipikir-pikir gue sama Revin memiliki banyak kesamaan. Sama-sama boneka dan sama-sama terasingkan." Airin hanya bisa tersenyum miris lalu kembali menatap Elisha.

Elisha membalas senyum miris Airin dengan senyum manis."Ini masih panas-panasnya, Rin. Gue tau Mikayla gak banyak terlibat, semua ini murni campur tangan Revin dan Mysha."

"Ya gue tau, tapi satu pengorbanan kecil juga dapat mengubah segalanya. Tapi dalam kasus kayak Mikayla itu, dia cuma ikuti beberapa arahan demi uang. Jadi mereka sama-sama untung." sahut Airin lagi sambil memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

"Lo kira apa yang bakal Revin lakukan setelah ini?" Elisha tersenyum miring mendengar jawaban Airin.

"Gue tau kalau Revin gak akan bilang apa-apa sama Ayah ataupun Papah. Tapi target utama Revin itu adalah Rivan. Dia menghancurkan semua dimulai dari Rivan." jawabnya.

"Baik, gue suka jawaban lo. Lo lebih kritis dari biasanya. Gue ada satu penawaran, nih. Dan menguntungkan buat lo."

Airin menarik sudut bibirnya, Elisha memang bisa diandalkan dan tidak akan membuatnya kecewa. "Dengan senang hati ..."

"Gue udah lacak keberadaan Mysha." Elisha tersenyum miring, "Wanita itu sekarang ada di Singapura."

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang