42. Keadaan Yang Memusingkan

21.5K 1.4K 4
                                    

Saat pulang, Rivan hanya disambut oleh Bunda Karin. Bunda mengingatkan dirinya untuk segera makan siang. Rivan mengangguk dan mengatakan kalau ia akan berganti baju dulu.

Setelah menaiki tangga, kakinya melangkah menuju kamar Airin. Mengetuk beberapa kali tetapi sang empu kamar belum juga membuka pintunya. Sedikit mendengus, Rivan memutar knop pintu dan hasilnya pintunya tidak terkunci.

"Rin?" ujarnya pelan sambil menelisik kamar Airin yang terlihat bersih dan wangi. Kakinya bejalan memasuki kamar tunangannya tersebut. Rivan mengerutkan dahinya, apakah Airin belum pulang? Padahal gadis itu yang terlebih dahulu keluar dari kelas.

Rivan mengingat sesuatu, tangannya langsung memasuki saku celananya dan mengeluarkan dompet kecil berwarna pastel dan meletakkannya di atas nakas.

Tatapan Airin tertuju pada notebook kecil yang ada di nakas. Perlahan, ia membuka notebook bersampul berwarna ungu tua itu dan membuka lembarannya secara acak.

Ingin rasanya aku tertawa. Kebahagiaan yang selalu aku bangun runtuh seketika. Istana yang selalu ku agung-angung kan adalah tempat diriku terbunuh kelak. Semua rasa sakit ini tidak akan pernah terobati. Aku tidak yakin waktu bisa mengobati semua hal yang terjadi.

Semuanya tampak seperti lelucon. Aku bahkan tidak pernah merasa berada di titik serendah ini. Aku selaku rutin melakukan terapi dan berkonsultasi. Namun bayang-bayang kejadian itu selalu menghantuiku.

Ini sungguh menakutkan, Tuhan. Tidak ada yang benar-benar peduli padaku. Tidak ada, mereka akan mencari saat kau pergi, dan saat kau bertahan mereka memilih pergi dan tidak peduli.

Hidup ini kejam, kuakui itu. Tapi... bisakah berikan aku sedikit cahaya? Uluran tangan atau sebuah rengkuhan hangat? Bahkan saat semuanya sudah terjadi, kata 'Apa kau baik-baik saja' hanya terdengar sebagai formalitas belaka.

Mengapa aku tidak terbunuh saat kebakaran saat itu terjadi!?

Rivan tersentak saat notebook kecil itu tiba-tiba dirampas seseorang. Dengan kaget, Rivan menatap Airin yang tiba-tiba datang entah darimana. Airin menatapnya datar dengan sorot mata yang terlihat terganggu.

"So, siapa yang mengizinkan Lo masuk ke kamar gue?" tanya Airin membuat Rivan yang awalnya gelagapan membuat tampang cool.

"Lo tunangan gue, apa gue gak punya hak masuk kamar Lo?"

Airin menatap notebook nya lalu menatap Rivan, "Terkadang ikatan tidak menggambarkan suatu hubungan direalita sebenarnya. Well, jangan jadikan alasan perjodohan ini menjadi tempat Lo menggali semua rahasia orang, Van. Karena... gak semua orang bisa baik-baik aja setelah masa lalunya terbongkar." Airin mengatakannya dengan tatapan sendu membuat Rivan berpikir apa yang dilalui gadis dihadapannya hingga semuanya tampak sulit?

"Maaf, tapi gue penasaran."

Airin tidak menjawab, ia langsung memegang bahu Rivan dengan kedua tangannya. "Semua orang punya rahasia, Van. Semua... termasuk gue. Jadi, jangan percaya apa yang gue bilang karena gue dan keluarga ini penuh kebohongan."

Setelah mengatakan kalimat ambigu itu, Airin membalikan badannya berniat meninggalkan Rivan tetapi Rivan sudah memegang bahu kanan terlebih dahulu. Dengan raut wajah bingung yang kentara, Rivan mencoba menyuarakan pertanyaannya.

"Maksud Lo apa sih, Rin? Gue gak ngerti. Jangan berbelit-belit bisa?" tanya Rivan frustasi.

Airin yang masih membelakangi Rivan mencoba melepaskan tangan Rivan yang masih menyentuh bahunya. Tanpa menoleh ia berujar sarat akan peringatan. "Jangan mengerti. Jangan dicari tahu. Biarkanlah semua mengalir. Semua pasti baik-baik aja."

Setelah mengucapkan kalimat yang lagi-lagi membuat Rivan semakin bingung, Airin ke luar dari kamarnya meninggalkan Rivan yang masih membeku ditempat. Niat Rivan untuk membawa gadis itu dinner bersama lenyap seketika. Pikirannya sudah berkelana untuk mencari jawaban dari kata-kata Airin yang sayangnya belum bisa ia pecahkan.

***

Pagi-pagi sekali Rivan sudah pergi ke ruang makan. Di sambut Bunda Karin dan makanan yang lezat, pikiran Rivan masih saja berkelana meninggalkan raganya yang termenung.

"Makan, nak! Nanti nasinya dingin!" perintah Bunda membuat lamunan pemuda itu buyar. Ia menatap wajah Bunda dengan canggung sebelum mengangguk dan memakan makanannya.

Kedatangan Sanjaya dan Airin secara bersamaan membuat Rivan sedikit menghela nafas. Semoga saja Ayahnya itu tau cara menjadi ayah yang peduli untuk anaknya. Paling tidak menanyakan kesadaran Airin, bukan?

Airin tampak biasa-biasa saja dan tenang. Gadis itu mengoleskan selai kacang di roti tawarnya untuk sarapan. Tiba-tiba suara Sanjaya membuat pergerakan satu meja terhenti.

"Airin, keruangan kerja ayah setelah ini!" ujar Sanjaya tegas membuat Rivan bertanya-tanya. Ada apa?

Airin mendongak lalu kembali menatap makanannya. "Tidak ada yang perlu dibicarakan." ujar Airin singkat. Airin hanya takut, takut ayahnya mempertanyakan dengan siapa Airin pergi hari ini. Mata dan telinga Ayah itu banyak disekitar Airin membuat gadis tersebut merasa pergerakannya selalu diketahui.

"Jangan membantah, Viona Airin Marselia!"

Saat itu juga Melody datang bergabung dan menarik kursi. Bunda mengambilkannya sepiring nasi goreng. Melody menatap Sanjaya dan Airin bergantian lalu memakan makanannya dalam diam.

"Aku tidak membantah. Aku tidak ingin membicarakannya dia, ayah!" Airin segera menutup mulutnya, ia berdehem dan terlihat salah tingkah dan gerak-geriknya tidak luput dari perhatian Rivan.

Sanjaya berdehem lalu meminum segelas air. Ekspresi bunda juga terlihat berubah, dengan cekatan wanita paruh baya itu memegang bahu Rivan, "Cepat selesaikan makan, nak. Ayo berangkat sekolah."

Dan Rivan merasa kalau ada yang tidak beres. Bahkan ia disuruh untuk cepat-cepat ke sekolah. Melody yang merasa atmosfer kurang baik, segera berangkat ke sekolah. Untuk saat ini ia tidak ingin mencari gara-gara yang menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.

Airin mengumpat dalam hati, bisa-bisanya ia keceplosan dan membuat situasi menjadi canggung seperti ini. Untuk pertama kalinya Airin menatap Sanjaya memohon agar lelaki paruh baya itu mengalihkan pembicaraan.

Sanjaya berdehem, "Yang pasti jangan bergaul dengan Elisha Laudya!"

Dalam hati Airin mendengus, memang benar Sanjaya mencoba mengalihkan pembicaraan. Tetapi, kalimatnya sebelumnya adalah perintah yang benar-benar harus dipatuhi.

Mood Airin semakin buruk di pagi ini. "Elisha anak baik," ujar Airin dengan nada sedikit jengkel.

"Dia bisa membuatmu dalam bahaya!" jawab Sanjaya menaikkan oktafnya. Airin terkekeh, "Membuatku dalam bahaya? Bahkan Elisha yang menyelamatkan aku dari Raka. Dan ayah? See? Tampak tidak peduli denganku. Mencari ku saja tidak becus."

Memang terlihat tidak sopan dan kurang ajar. Tapi Airin cukup kehilangan keluarga, jangan lagi sahabat.

Mengapa semua orang begitu egois terhadap Airin!?

Terkadang Airin merasakan sedang dipermainkan oleh takdir.

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang