23. Rivan kecewa

29.6K 1.9K 14
                                    

Airin sedang berada di kamarnya merenungi keputusan untuk pulang ke Aussie. Katakanlah Airin pengecut, dengan kembali lari dalam masalahnya. Namun, ini tentang trauma. Tidak sesederhana yang dibayangkan.

Ia mengambil novel yang ia punya. Berharap otaknya kembali tenang setelah membaca. Sialnya Airin malah membaca novel bergenre sedih hingga ia menangis sesenggukan.

Namun, setelah menangis entah mengapa hatinya sedikit tenang. Dan otaknya lebih bekerja. Airin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi apalagi ia pergi ke Aussie.

Pertama, ia tau bahwa Raka akan tetap mengikutinya kemanapun Airin pergi. Jadi tidak ada gunanya juga jika ia berpindah-pindah tempat.

Kedua, mungkin ia akan kehilangan cinta pertamanya. Airin meringis membayangkan sifat Rivan yang acuh kepadanya selama ini. Dan jika ia memutuskan untuk pergi, hal itu pasti merenggangkan hubungan keduanya.

Ketiga, ia belum merasakan keluarga yang harmonis. Walaupun ayahnya seperti tidak menganggapnya Airin ada, namun ia yakin dari lubuk hati terdalam Sanjaya pasti menyayanginya.

Keempat, persahabatan Airin dan Chelsea, Olivia, Adel, dan Audy pasti merenggang juga. Menemukan sahabat yang sebaik dan seasik mereka tidaklah mudah.

Keempat, Melody. Walaupun Melody lebih cocok dikategorikan sebagai iblis dibandingkan manusia, Melody tetaplah adik iparnya. Namun ia akan bermain-main sedikit agar membuat gadis itu jera.

Ia baru memulainya dan tentu saja ini belum berakhir. Pasti para readers juga ingin sedikit bermain-main dengan Melody.

Airin menghela nafas berat, ia sangat pusing sekarang. Ia mengambil ponsel diatas nakas kemudian mencari kontak seseorang.

"Ini gue."

"...."

"Bisa ketemuan?"

"...."

"Kafe perempatan."

"...."

Airin mematikan sambungan telepon tersebut kemudian bersiap-siap.

Setelah 30 menit bersiap, Airin keluar dari kamar menggunakan t-shirt lengan pendek berwarna hitam dan jeans panjang. Ia melirik Rivan yang sedang duduk menonton televisi.

Airin tau Rivan tengah menghindarinya. Oleh karena itu ia akan menunggu sampai lelaki itu tenang.

Setelah sampai di kafe tersebut. Airin mencari seseorang yang ia kenal. Ia tersenyum kecil saat melihat sahabatnya itu telah menunggu.

"Hai, Chel."

Chelsea mendongak menatap Airin. Kemudian ia tersenyum kecil. "Gue udah pesanin milkshake Strawberry, gak papa, 'kan?"

Airin mengangguk, "Bagus, gue emang suka."

Chelsea menatap Airin dalam, "Apa yang bisa gue bantu?"

-

Airin pulang kerumah pada sore hari. Ia mencari Rivan namun kata bunda Rivan sedang pergi bersama sahabat-sahabatnya.

Airin mencoba menelpon Rivan namun tidak diangkat lelaki itu. Nampaknya ia masih marah. Beberapa jam berlalu, sekarang sudah pukul sebelas malam. Namun Rivan belum juga pulang.

Airin mengambil ponselnya kemudian memasuki kamar Rivan untuk menunggu sang pemilik kamar. Ia sedari tadi melirik jam tangan. "Lama amat sih?"

Perlahan Airin memejamkan mata karena mengantuk. Entah berapa lama ia tertidur, Airin terbangun karena mendengar suara. Ia mengerang sebentar kemudian membuka matanya.

Di depan pintu, ada pelaku yang membuat Airin menunggu sedari tadi. Airin bangkit dari duduknya dan berjalan menuju Rivan.

"Rivan lo—", Airin menutup hidung saat hidungnya mencium aroma alkohol yang menyeruak dari tubuh Rivan.

"Lo mabuk?" Airin segera membopong tubuh Rivan yang sedang oleng. "Kenapa sih pake mabuk segala? Lo tadi gak nyangkut di hotel dulu, 'kan?"

Airin menggeram kesal pasalnya Rivan hanya meracau karena mabuk. "Lo berat, bego!"

Setelah tubuh Rivan terbaring di kasur, Airin segera melepaskan jaket yang dipakai Rivan tak lupa melepskan sepatu dan kaus kakinya.

Airin menghela nafas, niatnya ingin berbicara empat mata malah gagal. Ia memakaikan Rivan selimut. Kemudian mengecup singkat dahi lelaki tersebut.

Setelah puas memandangi wajah tunanganya, Airin mematikan lampu kamar dan pergi menuju kamarnya sendiri untuk tidur.

-

Keesokannya Airin bangun terlambat. Salahkan pikirannya yang terlalu bekerja pada malam hari membuatnya kurang tidur. Airin turun dari kamarnya menuju ruang makan. Di dapur bundanya sedang berbincang dengan pelayan lainnya.

"Bun, Rivan dan Melody udah berangkat duluan?" tanya Airin sambil memakan roti tawar selai strawberry.

Bundanya mengangguk, "Iya, baru aja Rivan pergi. Kalau Melody udah dari tadi pagi dijemput pacarnya."

Airin hanya ber oh ria. Lagi-lagi usahanya untuk berbicara serius dengan Rivan kembali gagal.

"Takdir dan waktu."

"Takdir dan waktu."

"Takdir dan waktu."

Airin tersenyum miris, "Ketika takdir dan waktu tidak selaras. Maka perasaan turut menangisi takdir."

-

Rivan saat ini sedang berada di kantin karena belum sarapan. Ia sedari tadi hanya diam tak menanggapi guyonan sahabatnya.

Daffa berdecak kesal, "Elah, bos. Kenapa si, galau ya?"

Andra memukul badan Daffa dengan tidak berperasaan, "Dah tau nanya."

"Gini ya, Van. Gue rasanya pengen ngakak ngelihat kondisi Lo yang kaya gembel perempatan." sindir Novan.

"Apaan sih, Lo!?"

"Sensi amat si"

Andra menepuk pundak Rivan sekilas, "Cerita, bro. Kita ini sahabat dan kita pada ini bukan pajangan aja."

Rivan menghela nafas, "Gue cuma kecewa dengan tindakan gegabah seseorang."

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang