61. Pertemuan

16.3K 1.1K 28
                                    

Rivan tidak tau lagi, mendengar seseorang meneleponnya dan mengaku sebagai Revin, kembarannya. Pemuda itu langsung menjalankan mobilnya pada sebuah Apartemen yang Al dikirim lewat chatting.

Ada perasaan tersendiri didirinya. Ia merasa antusias untuk melihat pemuda yang keberadaannya disembunyikan dan baru ia ketahui. Disatu sisi ia merasa sedikit risih melihat kebersamaan Airin dan Revin.

Sebagai tunangan, itu hal yang wajar, bukan?

Aneh saja melihat kebersamaan tunangan dan kembarannya yang seiring pergi ke kafe bersama. Bahkan dirinya saja jarang keluar bersama Airin. Itu memang fakta ironis.

Beberapa menit kemudian, mobil Rivan sudah berada pada Apartemen elit yang ada di pusat kota. Ia mencari unit yang dikirim oleh Revin. Rasanya begitu gugup dan sedikit menyesal, menyesal karena ia tidak bisa menolong saat Revin dibawa oleh Mysha.

Setelah memencet tombol bel, jantung Rivan rasanya ingin berhenti saat ia melihat seorang pemuda yang mempunyai wajah serupa dengannya sedang menyunggingkan senyum manisnya.

Rivan tersenyum canggung. "Lo Revin?" tanyanya membuat Revin tertawa. Pertanyaan Rivan memang tidak masuk akal, memangnya ada Rivan Revin ketiga? Itu hanya karena canggung, sih.

Revin menghentikan tawanya, "Gak, gue tunangan Airin."

Senyum Rivan luntur seketika. Wajahnya datar mendengar ucapan frontal dari Revin. Tangannya mengepal, jujur walaupun Revin adalah saudara kembarnya, tidak baik melewati batas, bukan? Bahkan mereka belum lima menit bertemu tetapi Revin sudah membuat suasana menjadi mencekam seperti ini.

"Hanya bercanda," Revin tersenyum cerah saat mengatakan hal itu. Rivan hanya bisa tersenyum tipis lalu masuk saat dipersilahkan masuk. Apakah selera humor Revin cukup receh? Ini tidak lucu untuk ukuran orang yang baru bertemu.

Entah mengapa, semua rencana perkenalan hilang begitu saja. Revin mempersilahkan kembarannya itu untuk duduk di sebuah sofa. Pemuda itu masih tersenyum cerah.

"Wah ... aku baru melihat orang kembar. Rasanya aneh melihat wajahku terpahat sempurna di wajahmu."

Rivan mendelik tak suka walaupun tidak kentara. Rivan masih ingat bahwa ia harus memperlakukan Revin dengan baik. "Gak perlu formal kayak gitu. Beberapa menit yang lalu aja lo pakai gue-lo."

Revin terkekeh. "Em, gimana?"

Rivan mengernyitkan dahinya bingung, kata yang begitu ambigu membuat Rivan tidak mengerti. "Gimana apanya?" tanya Rivan sambil tersenyum tipis.

"Gimana hidup tanpa saudara? Enak?" tanya Revin tersenyum miring. Ah, Rivan baru sadar perubahan raut wajah Revin yang begitu kentara. Pemuda itu tampak serius sekarang. Kalimat Revin masih terdengar ambigu tapi Rivan sadar, pemuda itu menyindir dirinya yang masih hidup enak bersama keluarga walaupun kenyataannya tidak seperti itu.

Melihat suasana menjadi tegang, Revin kembali tersenyum cerah dan tertawa. "Hanya bercanda!"

"Gimana keadaan lo, bro." sambung pemuda itu seakan-akan tidak ada yang terjadi sebelumnya. Rivan hanya bisa tersenyum lalu mengangguk sebelum menjawab pertanyaan kembarannya itu.

"Baik ..."

Revin mengulum senyum mendengar jawaban singkat itu.

"Btw, apartemen Airin deket-deket sini, lho." ujar Revin tiba-tiba. Rivan mengerutkan dahi. Apartemen Airin? Ia tidak tau kalau Airin membeli unit apartemen di sini.

"Beberapa unit dari apartemen gue ini." sambungnya lagi.

Rivan kembali terdiam. Ia sungguh tidak tau hal itu, tak terasa tangannya terkepal erat mengingat Revin lebih mengetahui Airin ketimbang dirinya.

"Gue sering menghabiskan waktu dengan gadis itu. Terakhir kali bertemu ya ... kemarin."

Rivan lagi-lagi membisu, sejak pertengkaran mereka tempo hari, mereka tidak pernah bertegur sapa kembali. Sungguh miris, padahal mereka satu rumah tetapi komunikasi yang sangat buruk ini hanya bisa menghambat.

"Berhenti bahas Airin, gue mau tau gimana keseharian lo, dong." pinta Revin lalu beberapa detik kemudian pemuda itu tampak menepuk dahinya sendiri.

Rivan mengernyitkan keningnya saat melihat pemuda dihadapannya segera berdiri. Rivan mendongak. "Apa terjadi sesuatu?"

Revin menggeleng lalu menyengir lucu. "Gue terlalu antusias hingga lupa bahwa belum menyediakan minum."

"Hmm, dari gaya lo, lo bukan tipikal good boy. Jadi ... mau alkohol?" tawar Revin. Pemuda itu tersenyum miring

"Gue gak minum," tolak Rivan cepat. Bisa bahaya kalau Airin mengetahui kalau dirinya mabuk, walaupun mereka sedang bermusuhan. Tapi Rivan tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak disukai Airin walaupun gadis itu tidak meminta.

"Sayang sekali kita gak sependapat. Gue kira selera kita sama. Oh, ya, Van. Coba ambil album foto di laci itu, disana banyak foto-foto masa lalu gue." sambung Revin sambil menunjuk lagi pada meja yang tak jauh dari sofa itu.

Setelah mengatakan hal itu, pemuda jangkung berkulit putih itu berjalan menuju dapurnya sambil tersenyum miring.

Rivan menghela nafas, entah mengapa pertemuan ini tidak seindah ekspetasi dirinya. Mungkin karena ini baru pertemuan pertama, membuat mereka menjadi canggung.

Rivan harus mengingatkan dalam hati, kalau pemuda berkulit kuning bangsat itu harus memperlakukan kembarannya dengan baik.

Sebenarnya Rivan enggan mengambil sebuah album foto itu. Mengingat Revin yang tinggal dengan Mysha sebelumnya membuat Rivan berpikir kalau foto wanita itu akan ada di sana.

Namun, tidak enak juga 'kan kalau Rivan tidak mengiyakan.

Setelah mengambil album itu dengan sedikit ogah-ogahan. Pemuda itu membuka album itu. Rivan tersenyum kecil melihat banyaknya foto-foto masa kecil Revin. Mereka sungguh sangat mirip, mungkin yang membedakan adalah tubuh Revin yang lebih kurus dan lebih putih dan style pakaian.

Untungnya tidak ada satupun foto Mysha yang terpampang disana membuat Rivan tersenyum miring dan berpikir kalau Revin juga membenci Mysha hingga pemuda itu kabur dan pulang ke Indonesia.

Tepat di foto terakhir, mata Rivan membola. Rahangnya mengeras lalu mengambil sebuah foto orang yang ia kenal. Dada pemuda itu naik turun, ia meremas salah satu foto itu dan menggeram marah.

"Airin!?"


Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang