67. Kehamilan Yang Diketahui

22.4K 1.2K 21
                                    

Airin mengernyitkan dahinya saat melihat keadaan rumah yang sepi tidak seperti biasanya. Ia mendatangi dapur dan mencari bunda Karin. 

"Nyari nyonya, non Ririn?" celetuk asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di kediaman ini. Airin tersenyum kecil lalu mengangguk. "Iya, nih. Beberapa hari ini belum ketemu walaupun satu rumah."

Gimana lagi? Pulang sekolah biasanya dia mampir ke kafe atau rumah Elisha. Makan malam diluar dan itu membuatnya jarang bertemu dengan sang Bunda tercinta.

"Lagi arisan kayak biasanya, mah."

Airin kembali mengangguk lalu pergi setelah tersenyum singkat. Gadis itu mengernyitkan dahinya saat pintu kamarnya terbuka lebar. Ia masuk dan matanya melotot melihat barang-barangnya berserakan kesana-kemari.

Jantungnya berpacu cepat, ia khawatir dengan sesuatu. Dengan cepat ia lepaskan tasnya dan berlari menuju meja belajar.

Tidak ada!

Gadis itu membuka laci-laci dan membongkarnya tetapi barang yang dicari tidak kunjung ketemu. Dengan frustasi ia mencari ke tempat lain tetapi juga tidak kunjung menemukannya.

Airin memukul pelan kepalanya, bahaya kalau ada yang melihatnya. Biarkan saja hanya Papah, Ayah, Melody, dan Elisha yang mengetahui kehamilannya. Jangan ada yang lain.

Tubuh Airin nyaris ambruk. Semuanya sudah ia bongkar tetapi yang testpack dan surat keterangan dari dokter juga tidak ada di kamarnya ini.

Apakah diambil seseorang?

Airin tidak mungkin mencurigai asisten rumah tangganya karena Airin membersihkan kamarnya sendiri, mencuci bajunya sendiri, untuk keperluan dirinya ia lakukan sendiri kecuali memasak dan mencuci piring.

Bunda? Sepertinya tidak, jika bunda tau pasti wanita paruh baya itu akan mengintrogasi dirinya saat ini juga. Jadi ... siapa?

Jangan bilang Rivan?

Airin tertawa renyah sambil menggeleng kepala beberapa kali. Ini tidak mungkin, ini benar-benar tidak mungkin! Jangan sampai, Tuhan.

"Gak mungkin," Airin kembali tertawa renyah.

"Apa yang gak mungkin?"

Airin tersentak kaget dan langsung membalikkan badannya. Mulutnya nyaris terbuka saat melihat seorang pemuda berdiri diambang pintu toiletnya.

Airin gelagapan lalu tertawa. "Gak apa-apa, ada kecoa---" Senyum Airin langsung luntur saat Rivan melempar sesuatu. Nafasnya tercekat saat tau kalau itu adalah benda penting yang ia cari sedari tadi.

Rivan menatap Airin datar tetapi dadanya terasa sesak. Tubuh Rivan bergetar, ia begitu tidak percaya akan yang ia lihat. Ini sungguh tidak terduga.

"Van, lo?" Airin masih menatap getir di lantai itu, bibirnya begitu kelu untuk menyuarakan pembelaan. Tubuhnya tak kalah bergetar dari Rivan. Bahkan tubuhnya sudah mulai mendingin dengan keringat dingin yang muncul.

Airin tidak menyangka kalau Rivan akan mengetahui ini secepat ini. Bahkan gadis ini sudah tidak bisa menahan berat badannya sendiri. Lututnya lemas, Airin hanya bisa terjatuh ke lantai yang dingin.

Rivan masih setia pada posisinya. Ia menatap Airin datar tapi Airin tau kalau mata pemuda itu terlihat kecewa.

Rivan meneguk ludahnya. "Memalukan ..."

Airin mengalihkan pandangannya, matanya berkaca-kaca dan gadis itu berusaha agar tidak terlihat lemah dihadapan Rivan. Perlahan, Airin dapat melihat pergerakan dari Rivan.

Pemuda itu berjalan mendekati Airin. Bahu dan bibirnya tampak bergetar tetapi pemuda itu tidak menangis. Tangannya yang besar mencengkram erat bahu Airin.

Rivan tersenyum kecil. "Lo bisa bohong sama gue, Rin."

"Bilang kalau lo cuma dijebak, bilang kalau ini semua bohong. Kita bisa ngulang dari awal, oke?" ujar Rivan lembut tetapi cengkraman tangannya begitu erat membuat Airin sedikit meringis.

Airin menggeleng dengan air mata yang mulai mengalir. Bohong apanya? Dia benar-benar hamil. "Gue hamil, Van." ujarnya lirih seperti mengadu kepada Rivan.

Rivan memejamkan matanya frustasi. Rahangnya tampak mengeras dengan muka yang merah kentara sekali emosi pemuda itu sudah diubun-ubun.

"Bohong aja, Rin. Bohongin gue!" desisnya, tetapi jawaban dari Airin tidak sesuai ekspektasi dirinya. Airin terus menggeleng sambil meracau kalau dirinya hamil.

"Rin ..." Rivan berdiri lalu menatap Airin remeh sekaligus tidak percaya. "lo kok tega?"

Airin menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tangisnya semakin menjadi-jadi. Ia memegang perutnya.

Rivan tersenyum tidak percaya, lalu kembali menatap Airin. Ia mundur beberapa langkah lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar gadis yang ia cintai dengan perasaan berkecamuk.

Airin menatap kepergian pemuda itu dengan hampa, beberapa detik kemudian perutnya terasa kram hebat membuatnya mencengkram perutnya sendiri.

***

"ARGHHHHHHHHHHHHHHHHH!"

Rivan berteriak dengan keras, melampiaskan emosinya yang sedari tadi belum juga surut. Saat ini ia ada di jembatan besar dan menghampiri sungai dibawahnya.

Berteriak sambil mengeluarkan keluh kesalnya ini mungkin hal memalukan bagi pemuda yang sebentar lagi berusia 18 tahun itu. Tetapi, hanya ini yang ia perlukan.

Semua luka-luka terbuka dan dadanya langsung sesak. Rivan selalu berpikir, jika dulu ia tidak kekanakan pasti Airin sedang ada dipelukannya saat ini, jika Rivan lebih sering bersama dengan Airin, pasti gadis itu tidak akan berpaling darinya.

Rivan sadar ia egois ... tapi pemuda itu tidak ingin ditinggalkan. Selama hidupnya ini ia tidak pernah merasakan kebahagiaan walaupun dikelilingi oleh orang-orang, tidak seperti Airin yang tidak memiliki siapapun, dirinya mempunyai itu.

Papah, Ayah, Bunda, adik, sahabat dan kebebasan. Ia memiliki itu. Tapi pada dasarnya itu semua tidak akan lengkap kalau ada satu pondasi yang menghilang.

Lamunan Rivan tersentak kala sebuah tangan mungil nan hangat memegang bahunya. Dengan cepat pemuda itu membalikkan badan dan menatap datar siapa orang itu.

"Van, lo kok ada di sini?"

Rivan tidak menjawab tetapi ia langsung menepis tangan seputih porselen itu. "Mending lo pergi, Kai." usirnya secara halus.

Mikayla mengernyitkan dahinya. "Aku tadi lihat---"

"PERGI, JALANG!"

Mikayla tersentak kaget mendengar umpatan kasar dari mulut Rivan. Ia langsung berdecih lalu meninggalkan Rivan yang matanya menyorot tajam.

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang