90. Hukuman

20.2K 1.1K 40
                                    

Dari awal semuanya sudah salah. Baik dari kedatangannya hingga rasa nyaman yang harus ia dapatkan. Dirinya juga tau, kalau sudah berapa kali benaknya mengatakan kalau ia harus pergi.

Pengecut

Dirinya memilih untuk menjadi pengecut. Melarikan diri dan pergi ke luar negeri. Memulai kehidupan baru untuknya sendiri yang tentunya sangat sulit. Ia tau ini sangat membingungkan.

Bukankah dirinya sudah berjanji dalam hati kalau dirinya bertahan untuk melepaskan?

Tapi, mengapa sesulit ini? Tidak ada yang tau bagaimana perasaannya sendiri. Ia juga begitu, rasanya ini sungguh tidak adil mengingat hati dan egonya bertolak belakang. Tidak ada yang se-sinkron itu. Ini tidak mudah.

Perasaan sakitnya tidak bisa ia balaskan. Apalagi mengigat orangtuanya melakukan ini karena melakukannya. Hanya saja ... ini tidak adil. Ia tidak mengetahui apa-apa, ia juga kebingungan mengapa dibenci.

Para orangtua memang tidak pernah mengerti anaknya. Jangan salahkan anaknya yang menutup diri dan membuat benteng tak kasat mata. Itu semua ia lakukan agar tidak ada yang melewati batas.

Seorang anak gadis yang tidak tau apa-apa tiba-tiba dibenci orang terdekatnya dan diasingkan jauh ke negri orang. Jauh sekali, hidup bersama dengan bibi dan memutuskan untuk tinggal sendirian.

Semuanya begitu egois hingga dirinya pun tidak sadar telah memupuk semua kenangan buruk. Pulang kembali ke rumah berharap orangtuanya menyesal dan ternyata apa yang ia dapat?

Fakta-fakta masa lalu yang sebelumnya terkubur.

Ia hanya memerlukan waktu, ia hanya memerlukan ruang. Ia hanya memerlukan waktu untuk sendiri dan ruang yang jauh dari mereka.

Airin menatap Karin yang terduduk di lantai sambil menangis. Sanjaya dan Allard terlihat gusar dan terus mengusap kasar wajah mereka. Melody, gadis itu diam di sudut ruangan dengan pandangan kosong.

Dan Rivan, pemuda itu bersimpuh di depannya dengan pandangan sendu. Tangan gadis ini terkepal erat, Revin menatapnya dengan pandangan permintaan maaf.

Airin memutuskan untuk menulikan telinga dan menutup mata. Gadis itu meneguk ludahnya. "Katakan ... apakah ada kebenaran yang masih kalian sembunyikan?" tanyanya serak karena terlalu banyak menangis. Ia hanya ingin bertanya, karena ia terlalu

Sanjaya menggeleng. "Tidak ada, tidak ada yang kami sembunyikan." Memang, tidak ada lagi kebenaran-kebenaran yang sanggup membuat mereka syok. Tidak ada lagi, karena semuanya telah berakhir. Tapi, untuk mendapatkan cinta dan pengampunan dari putri kecil yang ia sayangi ini, tidak semudah itu.

Airin hanya ingin melakukan apa yang otaknya pikirkan, memperbaiki ego dan harga diri yang terluka tanpa melibatkan hati dan perasaan. Karena ... Airin lemah jika sudah menggunakan perasaan.

Airin hanya tersenyum miring. "Aku tau ... aku tau kalau kalian telah memenjarakan Mysha dan Raka."

Setelah semua yang terjadi, Airin tau betul kalau mereka tidak akan membiarkan Mysha dan Raka lolos. Entah bagaimana caranya, Airin tau kalau kedua orang itu akan mendapatkan hukuman entah dengan kasus apa.

Karena sampai sekarang, Airin tau tidak ada yang meminta dirinya untuk bersaksi atau semacamnya.

Bisa dibilang, keluarga Alger dan Sanjaya bersatu untuk menjebak kedua orang itu. Dan pastinya ... mereka akan mendapatkan hukuman yang berat.

"Mereka pantas di hukum." Allard menyahut dengan suara serak dan berat. Wajah lelaki itu memerah karena menahan sesak.

Kembali tersenyum miring, Airin berujar, "Benar, mereka pantas di hukum. Tapi, bagaimana caraku menghukum kalian semua, ya? Jangan mengira kalau kalian sangat suci disini."

Airin mengucapakan kata maaf berulang kali dihatinya. Ia tau kalau kata-katanya pasti akan menyakiti hati mereka. Tapi, bagaimana lagi? Mereka juga harus merasakan bagaimana rasanya menjadi Airin yang dulu.

Rivan yang awalnya menunduk langsung mendongak. Ditatapnya wajah kecewa Airin. Gadis itu terlihat begitu menyembunyikan kekecewaannya. Rasa sesak tidak pernah hilang dari dadanya. Sakit, dirinya sakit sekali. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kok rasanya sulit banget jadi anak kalian?" Airin menatap ketiga orang berusia paruh baya itu. Rasanya ia ingin sekali berteriak lalu menangis. Namun ia tidak bisa, itu sebabnya gadis itu langsung memejamkan mata dan mengenyahkan semua perasaan yang bergejolak.

"Permainan emosi, aku sangat muak." desisnya kesal. Semuanya susah sekali ia kendalikan. Semuanya tampak kelabu dengan awan hitam yang menyertainya.

Karin yang menangis tiba-tiba mendongak menatap anak gadisnya yang dilingkupi rasa kecewa itu. "Hukum kami, nak. Kami mungkin orangtua mu, tapi kamu berhak memberi kami hukuman jika kami salah!" pintanya meraung-raung.

Tangisan yang begitu pilu.

Airin terdiam sejenak, rasanya sesak melihat bagaimana bundanya memohon untuk diberi hukuman. Rasanya sesak melihat air mata mereka yang menggenang.

Airin tersenyum getir. "Tentu, Bun. Tentu saja aku akan menghukum kalian." ujarnya bergetar sebelum pergi keluar dari ruangan yang menjadi saksi betapa hancurnya dua keluarga yang sering dielu-elukan masyarakat.

Namun, ini namanya balas dendam. Ini adalah hukuman. Mereka juga pantas mendapatkannya. Tidak peduli mereka orangtuanya, saudara, dan tunangannya. Sekali kesalahan tetap kesalahan.

Seperti mereka menganggap dirinya pembunuh di masa lalu, seperti mereka menjauhi dirinya, seperti tetesan air mata darah yang keluar dari matanya, seperti tamparan demi tamparan dan tatapan kekecewaan, ia akan membalas itu semua.

Walaupun semuanya akan menganggap dirinya egois, walaupun dirinya dianggap gegabah atau bahkan tidak memiliki hati.

Namun inilah kehidupan, ini kehidupan dimana kau bisa egois. Dimana kau harus mendapatkan keadilan. Airin bukan pemeran protagonis film yang akan diam jika ditindas, ia juga tidak akan memaafkan begitu saja.

Karena apa yang ia katakan sebelumnya. Ia hanya perlu ruang dan waktu untuk memaafkan semua dan mengubur rasa kekecewaan dan sakit yang sering ia dapatkan.

Helaan nafas gusar mengalun panjang saat gadis itu keluar. Rivan mengusap kasar rambutnya. Rasanya ia ingin melampiaskan kekesalannya saat ini. Melody berdiri dan tanpa banyak kata, ia keluar dengan pandangan kosong.

Hari ini, badai kembali menerjang keluarga mereka. Air mata dan rasa bersalah menjadi satu saat ini juga. Hati seakan-akan membeku dan telinga ditulikan. Perasaan asing ini kembali menyelimuti.

Namun, apalah membiasakan diri lebih baik daripada membalas dendam?

_

Halo, semuanya. Menurut kalian, balas dendam Airin terlalu kelewatan atau udah wajar aja?

Thanks:)

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang