(Don't play mulmed yet)
Seongsan, Jeju-do, Agustus 2019
Panas nya terik matahari di Jeju tak se-panas suhu di Seoul. Meski bulan ini adalah puncak dari musim panas, suhu di Jeju justru menunjukan 15 °C. Banyak penduduk nya sudah memulai hari sejak pagi buta, entah berjalan menuju laut, ladang pertanian, atau menuju peternakan hewan.
Tinggal di perkampungan Seongeup yang terkenal dengan rumah bergaya tradisonal Korea itu turut memberikan Jin Hee efek serupa seperti penduduk lainnya. Bangun di pagi buta untuk berolahraga beberapa menit, dilanjut memasak nasi juga lauk-pauk pemberian para tetangga semalam, lalu ketika jam sudah menunjukan pukul delapan tepat barulah ia bersiap pergi menuju taman kanak-kanak.
Menjadi seseorang yang mendadak populer begitu tinggal di sana, tidak ada hari tanpa sapaan riang dari para tetangga nya yang kebanyakan sudah berusia lanjut. Tak ayal Jin Hee akan menemukan kulkasnya sudah terisi penuh setiap kali pulang dari sekolah. Mungkin aneh karena orang baru sepertinya bisa tinggal begitu mudah di perkampungan yang sejak awal hanya boleh ditinggali oleh warga setempat asli, namun kenyataannya ia memang dipaksa tinggal di sana oleh Se Won sejak dua bulan lalu begitu sahabatnya itu memilih ikut sang suami ke Daegu.
Mau tidak mau ia akhirnya mulai membangun jati diri baru. Menikmati hidup meski tak memiliki banyak kenalan yang seusia dengannya, pun berusaha terus bergaul dengan para tetangga dengan sesekali ikut membantu saat panen tiba di perkebunan.
"Eoh? Jin Hee-ya, sudah mau berangkat?" Sapa seorang wanita paruh baya dengan punggung yang tampak sudah membungkuk kala Jin Hee baru saja keluar dari halaman rumahnya.
"Bukankah ini terlalu pagi? Cucu ku juga belum bangun." Menanggapi dengan senyum maklum, Jin Hee mendekat sembari menuntun sepeda putih nya.
"Aku ada piket pagi hari ini, halmeoni." Lagi, ia tersenyum saat melihat anggukan paham wanita yang hampir menginjak 75 tahun itu. Jin Hee sebenarnya sudah tidak terkejut lagi bila wanita itu kelihatan bingung saat melihatnya sudah bersiap pergi, karena biasanya ia akan ikut mengajak cucu nya untuk berangkat bersama tapi di jam yang berbeda.
"Sampaikan permintaan maafku pada Byul, ya, halmeoni?"
"Jangan khawatir, dia bisa pergi dengan ayah nya nanti. Pergilah, jangan sampai terlambat."
Memberikan ucapan pamit, Jin Hee akhirnya pergi dengan riang sembari mengayuh sepeda nya. Tak lupa membungkukan tubuh sedikit disertai senyuman saat beberapa orang yang dikenalnya saling melintas.
Jarak antara perkampungan dan sekolah jika ditempuh oleh sepeda hanya memakan waktu sepuluh menit, dan akan terbilang lama jika ia berjalan kaki. Tapi, ia selalu menikmati bagaimana pun cara menuju sekolah, pemandangan kebun buah jeruk di sisi kanan juga pantai yang dipisah oleh barisan batu di sisi sebaliknya membuat mata nya betah melirik kanan juga kiri. Telinga nya juga tak perlu lagi sebuah lantunan lagu untuk menenangkannya, hanya perlu suara deburan ombak yang menabrak terumbu karang sudah sangat cukup baginya.
Sesampainya di taman kanak-kanak bernama Our Land yang menjadi tempatnya mengajar, Jin Hee menepikan sepeda nya. Menyapa salah satu guru yang juga bertugas piket sama dengannya sembari membuka lebar-lebar gerbang masuk sekolah.
"Aku iri padamu, Jin Hee-ya." Mengernyitkan dahi bingung, Jin Hee menoleh sembari tersenyum. Cukup geli akan ucapan senior nya itu.
"Lihat, karena ucapanku saja kau tersenyum. Saat anak-anak bertingkah nakal juga kau tetap tersenyum, saat kau dimarahi orang tua mereka pun kau tersenyum. Kau tersenyum begitu mudahnya. Seperti tidak ada beban dalam hidup mu."
"Hm?" Jujur, alasan Jin Hee membulatkan matanya saat ini adalah karena ia benar-benar terkejut. Tak percaya karena masih ada orang-orang yang mau membuang waktu untuk memperhatikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The B-White | JJK √
FanfictionSometimes Black. Sometimes White. Black for everyone. White for her. The meeting between Black and White. Different. But together. ----- "Who's better? Black or White part of me?" ©2019, February (official publishing) STAY AWAY FOR PLAGIARIST 🪓🤪