Bab 20

2.7K 92 0
                                    


•Zahra POV

Aku hanya diam di kamar menunggu Zia kembali, tapi ini sudah lama sekali sejak ia pergi ke luar. Perasaanku tiba-tiba menjadi tidak enak, aku khawatir terjadi sesuatu kepada Zia.

Ingin rasanya menyusul Zia, tapi dengan kondisiku saat ini aku rasa tidak akan bisa. Berdoa saja semoga  Zia tidak kenapa-napa, batinku.

Ah kenapa Zia belum kembali juga, aku memutuskan untuk berusaha berdiri. Sakit di tubuhku tidak ku hiraukan lagi yang berada di pikiranku hanya Zia, aku sangat takut sekarang semoga saja ia tidak apa-apa.

Aku berjalan pelan dengan berpegang pada dinding agar tidak jatuh. Setelah sampai aku memanggil Zia berulang kali, tapi nihil tidak ada jawaban sama sekali.

Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan di kepalaku, aku juga tidak bisa bergerak banyak lalu bagaimana caranya agar bisa menemukan Zia.

"Zia!" teriakku, tanpa sadar air mataku mulai menetes, perasaan takut sangat mengganggu pikiranku.

"Zia, kamu di mana?"

Tidak menyerah sampai di situ, aku merangkak berusaha mencarinya di halamam.

Tapi tetap saja aku tidak menemukan apa-apa, aku melihat ke segala arah mencoba mencari seseorang untuk bertanya siapa tahu Zia pergi sebentar dari rumah dan lupa memberi tahu.

Di sini sangatlah sepi karena masih terlalu pagi, dan sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa.

Aku menunduk, pikiranku tidak bisa memikirkan apa-apa. Hanya bisa menangis sembari memeluk ke dua lutut berusaha menenangkan pikiranku yang mulai kacau.

"Zahra, kamu ngapain di lua?"

Aku mendongak dan melihat Abi berada di hadapanku. Ia membantu berdiri dan membawaku masuk ke dalam rumah.

Abi mendudukkanku di sopa dan menghapus air mataku yang masih terus mengalir.

"Kamu kenapa?" tanyanya lagi.

"Hiks hiks hiks" aku tidak sanggup menahan air mataku, di saat itu juga aku kembali menangis.

Tiba-tiba tangan kekar Abi melingkar di pinggangku membawa ke pelukannya, aku terus saja terisak di pelukkannya. Merasa sudah lebih baik segera ku lepaskan pelukkannya lalu menghapus pelan air mataku.

Aku harus menceritakan tentang Zia kepada Abi agar ia dapat membantu mencarinya.

"Bi, Zia hilang dan aku enggak tahu dia di mana sekarang!" tegasku.

Abi mengerutkan keningnya, aku berusaha menceritakan kejadian yang baru saja aku alami dari aku yang mendengar ketukan di pintu sampai menghilangnnya Zia.

"Kamu serius, Za?"

Aku menganggukkan kepalaku menjawab pertanyaan Abi, aku sendiri bingung ke mana sebenarnya  Zia pergi.

"Yaudah, nanti aku bantu cari," tutur Abi.

Abi kembali membawaku ke pelukannya.
----

Abi sudah pergi beberapa jam yang lalu untuk mencari Zia, aku sebenarnya ingin ikut tapi ia tidak mengizinkanku untuk ikut bersamannya mencari Zia.

Ia malah menyuruh untuk istirahat dan makan, bagaimana bisa aku melakukan semua itu di saat sahabatku sedang hilang seperti ini.

"Zia, kamu di mana sih?" tanyaku pada diri sendiri. Aku sudah sangat pusing dengan masalah ini.

"Dretttt drettttt"

Suara itu membuyarkan lamunanku, segera beranjak mencarinya.

"Loh, ini bukannya handpon, Zia," gamku

Aku memilih untuk melihatnya, siapa tahu ada yang penting. Nomor tidak dikenal, siapa yang menelpon Zia, pikirku. Aku meletakkan hp Zia ke tempatnya semula.

Belum sempat aku beralih pergi dari sana tiba-tiba hp itu kembali berbunyi. Kalau begini aku jadi bimbang antara angkat atau enggak. Ah sudahlah mungkin ini penting, aku memutuskan untuk mengangkatnnya.

"Hallo" ucapku.

"Pergi ke Jalan mentari sekarang kalau enggak mau sahabat kamu kenapa-napa."

Aku sangat terkejut mendengarnya, dan siapa orang ini.

"Kamu sia...," belum Sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba sambungnya terputus.

"Ini siapa yah?" gumamku.

Aku memutuskan untuk makan terlebih dahulu sembari menunggu Abi kembali. Setelah selesai aku memutuskan untuk menunggu Abi dulu.

Setelah beberapa lama menunggu Abi kembali ke rumah, aku langsung memberi tahunnya. Abi kaget mendengar penuturannku lalu ia terdiam sebentar dengan menatapku intens.

"Kamu enggak usah pergi yah," ucap Abi.

"Loh kenapa, Bi?" aku mengernyitkan keningku binggung, kenapa aku enggak boleh pergi.

Abi menjelaskan alasannya kepadaku, aku bisa memahami ke khawatirannya mengenai ke hamilinku. Tapi tetap saja aku tidak akan pernah tenang sebelum melihatnya baik-baik saja.

Setelah menceramahhiku habis-habisan Abi berpamitan untuk pergi ke kantor polisi dulu, aku hanya mengangguk patuh.

Abi mengacak pelan rambutku dan mendekat ke arah dimana aku duduk, ia perlahan menghapus jarak di antara kami berdua. Aku hanya diam memperhatikan Abi lekat.

Cup

Aku terdiam di tempat saat Abi mencium singkat bibirku, kemudian ia tersenyum.

"Tetap di sini, jangan buat aku khawatir," ujarnya lembut.

ABIZHA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang