Bab 31

2.8K 77 0
                                    


Heppyreading🌟
•Zahra POV

Aku membuka mata dengan perlahan, di sini sangat terang. Aku hanya diam menatap lampu yang begitu menyilaukan mata. pikiranku jauh berkelana menerka-nerka apa yang sebenarnya sudah terjadi.

'Cklek'

Setelah mendengar suara pintu terbuka, aku segara mengalihkan pandanganku ke arah pintu. Sudut bibirku sedikit terangkat melihat siapa yang datang.

Aku ingin berteriak dan memeluk Zia, tapi kenapa aku merasa sangat lemas seperti ini. Saat ku paksakan duduk rasanya sesuatu yang tajam menusuk perutku.

"Ahhh!" teriakku, sungguh ini tidak seperti biasanya mengapa perutku sakit sekali.

"Kenapa, Za?" tanya Zia.

Aku mendongak melihat Zia dan Fatah yang baru saja masuk ke dalam kamarku mereka sudah berdiri di sampingku, ekspresi mereka jelas sekali menunjukkan kalau mereka sangat khawatir.

Aku hanya menggelengkan kepalaku, setelah kesadaranku terkumpul semua aku kembali menatap Zia dan Fatah.

"Haus," ucapku lirih.

"Bentar, Za," Fatah langsung mengambil minum yang memang sudah di sediakan dan memberikannya kepadaku.

"Makasih."

Aku meraba-raba perutku yang masih terasa sakit, tapi kenapa rasanya. Aku melihat perutku sendiri seketika aku sadar bahwa perutku tidak besar seperti sebelum-sebelumnya. Tanganku terhenti di sana berusaha menenangkan detak jantung yang mulai berpacu dengan cepat.

Bayangan-bayangan peristiwa saat aku terjatuh berputar di otakku seakan tidak mau berhenti, pikiranku mulai terasa kacau. Aku menggeleng berusaha menghilangkan hal-hal yang tidak aku inginkan.

•Author POV

Zia memerhatikan Zahra yang sedang meraba perutnya, rasa takut yang sejak tadi berusaha ia tangani. Begitu juga dengan Fatah dua hanya pokus kepada Zahra yang sedang melamun.

Setelah berpikir cukup keras Zahra mengalihkan pandangannya ke arah Zia dan Fatah. Zia dan Fatah sudah membayangkan yang tidak-tidak melihat Zahra hanya terdiam. Tanpa mereka duga Zahra malah menatap mereka singkat kemudian tersenyum manis yang mampu membuat hati Zia semakin sakit melihat pemandangan itu.

"Zia, anaku udah lahir yah?" ucap Zahra, senyum manis tidak pernah luntur dari wajah pucatnya.

Satu kata pun tak sanggup Zia ucapkan, kenapa Zahra bertanya seperti itu bahkan sedari tadi Zia tidak bisa mendapatkan jawaban yang tepat untuk pertannyaan Zahra.

"Za, k—kamu udah baikan?" tanya Fatah gugup, sebenarnya ia hanya berusaha mengalihkan pembicaraan agar Zahra tidak menanyakan soal anaknya lagi.

Zahra hanya mengangguk, kemudian kembali menatap Zia yang sedang menunduk.

"Zi," ucap Zahra lirih.

Huft. Fatah menghela nafas gusar, ternyata usahannya untuk mengalihkan perhatian Zahra gagal total.

"Z—Zahra,"Zia tidak sanggup untuk mepanjutkan ucapannya, air matanya tiba-tiba jatuh.

Fatah yang melihat Zia menangis segera menarik Zia kepelukan. Sementara Zahra hanya tersenyum masam. Kenapa Zia kembali membuat dirinya merasa takut.

Fatah membawa Zia ke luar dari ruangan rawat Zahra.

Senyap, itulah yang Zahra rasakan saat mereka keluar, ia sangat berharap seseorang datang dan memberikan kabar baik. Hatinya merasa sesak.

Dengan kasar Zahra menjambak rambutnya prustasi.

"Arghhhhhh!" teriak Zahra sekeras mungkin, kenapa pikirannya hanya memikirkan hal-hal yang buruk saja.

"Brak," Zahra meringis menahan sakit yang semakin terasa bahkan sekarang ia terjatuh dengan keras dari tempat tidurnya karena tidak bisa menjaga keseimbangan.

Seorang suster datang dan membantu Zahra kembali ke tempat tidurnya.

"Hati-hati, Mbak," peringat suster itu sembari membenarkan selimut Zahra, "Mbak, harus banyak istirahat dan jangan banyak bergerak dulu," sambungnya.

"Sus, anak saya mana?" tanya Zahra dengan mata yang sudah berkaca bahkan air matanya sudah mulai tumpah membasahi pipinya.

"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan bayi anda, Mbak."

Deg

Jantung Zahra seolah berhenti berdetak suaranya tercekat. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Entahlah, kenapa semuanya terasa hilang.

Melihat reaksi Zahra yang hanya diam suster itu memilih pergi ke luar untuk memberikan Zahra waktu sendiri.
------
Di luar ruangan Zahra, Abi sudah kembali setelah mengobati luka-lukanya. Tak berselang lama Zuan menyusul di belakangnya.

Tanpa permisi Abi masuk ke dalam ruangan Zahra dan menguncinya dari dalam. Dari tempat ia berdiri terlihat Zahra yang sedang terdiam menghadap jendela yang menampilkan pemandangan di luar.

Dengan perlahan Abi mendekati Zahra, wajah itu wajah yang dulu selalu tersenyum hangat kini hanya menatap kosong.

"Kenapa ngelamun," ujar Abi, nada suaranya masi sama seperti selama ini, datar.

"Gue, lagi ngomong," Abi mulai kesal karena Zahra tidak memperdulikannya.

Zahra tersenyum singkat, kalau kalian pikir dia bahagia dengan sikap Abi yang peduli kepada dirinya kalian salah besar. Ia hanya tersenyum menertawakan nasibnya yang sangat tidak beruntung.

Dari kecil ia belum pernah merasakan bahagia yang sebenarnya, mama sama papanya selalu menuntut dirinya untuk belajar dan belajar. Mereka hanya tidak ingin nama baik keluarga yang dijaga selama ini rusak, hingga dengan tegahnya mereka mengusir Zahra secara halus dari rumah dengan menikahi lelaki yang sama sekali tidak menyayangi dirinya. Dan setelah Zahra berusaha menerima dan mau mencoba hidup bahagia dengan anaknya nanti, tapi ujian kembali datang meruntuhkan benteng kokoh yang sudah ia bangun agar semuanya terasa baik-baik saja.

Dalam senyum air mata Zahra terus keluar mengalir begitu saja tanpa bisa di bendung lagi, ia menggenggam erat pakaiannya. Bahkan Zahra menggigit bibir bawahnya sampai mengeluarkan darah karena ingin menahan suaranya supaya tidak di dengar oleh Abi. Zahra tidak tahu saja kalau Abi memperhatikan dirinya sedari tadi.

"Zahra!" teriak Abi, ia menarik wajah Zahra ke arahnya.

Abi meringis saat melihat darah mengalir dari sudut bibir Zahra yang terluka, ia berusaha sekeras mungkin agar terlihat tak perduli. Tapi ia tidak bisa melihat Zahra seperti ini.

Dengan capat Abi  Zahra kepelukannya menarik dan megusap kepala wanita itu agar tenang.

"Jangan gini, Lo, bukan hanya menyakiti diri Lo sendiri tapi di sini gue juga merasa sakit lihat Lo kayak gini."

Zahra kembali tersenyum masam, apa kata Abi barusan dia sakit kalau Zahra sakit. 'Munafik' batin Zahra.

......

ABIZHA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang