28

379 84 7
                                    

SMA JYH

Istirahat...

Hae-jin berjalan membawa nampan makan siangnya ke meja Shin-hye dan Shin-hwa. "Boleh aku bergabung?"

Shin-hye mengangguk dan Shin-hwa hanya menatap sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. "Kalau begitu aku juga bergabung." Ji Soo yang datang entah darimana membawa nampan dan duduk begitu saja. Hae-jin menatap Ji Soo tidak suka begitu juga Ji Soo menatap Hae-jin.

"Apa kau yakin sudah baik-baik saja?" Tanya Shin-hwa sambil mengunyah makanan di mulutnya. Shin-hye kembali mengangguk.

"Memangnya kau kenapa?" Hae-jin bertanya sambil menatap keduanya.

"Ani...yo. Gwencanayo." Shin-hye mencoba menggunakan bahasa formal pada Hae-jin. Sulit. Tentu saja. Mereka biasanya bicara dengan santai tiba-tiba harus formal. Bukan hal yang mudah.

"Tapi wajahmu sedikit pucat. Benar tidak apa-apa?" Ji Soo menatap lekat Shin-hye.

"Jangan menatapnya seperti itu!" Shin-hwa menghadang wajah Ji Soo dengan tangannya. "Sebenarnya kemarin dia demam, sansenim. Saya sudah melarangnya untuk berangkat hari ini, namun dia tetap nekat." Jelas Shin-hwa.

"Shinhwa-ya!" Shin-hye memandang Shin-hwa.

"Wae? Dan lagi yang kau lakukan semalam. Kau pikir hanya karena kau wanita semua yang kau lakukan benar? Tidak. Kau hanya bisa membahayakan dirimu sendiri."

"Mwo?" Hae-jin dan Ji Soo bersamaan. Lalu saling menatap dengan pandangan ingin membunuh. Membuat Shin-hwa memiringkan kepalanya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Tanya Hae-jin.

"Harusnya itu yang saya tanyakan kepada anda, sansenim." Jawab Ji Soo.

"Kau seharusnya menjaga sikap di depan guru."

"Saya sedang berusaha. Dan lagi, lebih baik anda jauhi Shin-ji. Anda harus bersikap sesuai usia anda. Pikirkan istri dan anak anda di rumah. Jangan hanya berpikir tentang kesenangan anda saja."

"Yya! Kau mau mati?" Hae-jin menarik krah Ji Soo.

"Anda yakin? Disini?" Jawab Ji Soo menantang. Keduanya diam. Sepi. Lalu mereka melihat sekeliling. Tidak ada orang. Bahkan Shin-hwa dan Shin-hye juga sudah pergi.

"Aish..." Hae-jin melepas kasar krah Ji Soo. "Aku akan menghajar mu tapi nanti. Setelah semuanya selesai."

"Heh... Anda yakin? Bukankah lebih baik anda pikirkan apa yang saya ucapkan tadi? Hah... Dasar orang tua." Ji Soo meninggalkan Hae-jin yang masih menatapnya kesal.

"Hah... Jinja... Padahal aku hanya ingin makan bersama adik dan keponakan. Ada saja yang mengacau." Hae-jin mengacak-acak rambutnya sendiri.

Pulang Sekolah...

"Shinji-a... Kau pulang saja duluan." Shin-hwa mencoba membujuk agar Shin-hye pulang lebih dulu.

"Wae?" Shin-hye bingung.

"Aku harus belajar untuk UAS seminggu lagi."

"Akan aku temani."

"Tidak perlu. Aku sudah ada janji belajar dengan Ji Soo."

"Ji Soo?"

"Wae?" Ji Soo datang dari belakang Shin-hwa.

"Kau dan Shin-hwa belajar bersama?" Ji Soo menatap Shin-hwa. Shin-hwa hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Eoh... Wae?"

"Ani. Kau yang hanya tidur saat pelajaran, tiba-tiba belajar? Itu aneh sekali." Shin-hye memiringkan kepalanya.

"Dia sudah sadar. Lagipula ini untuk kenaikan ke semester 2. Hal yang sangat menentukan. Apa aku perlu untuk menghubungi appamu agar bisa menjemputmu?" Shin-hwa menekankan kata appa dan itu membuat Shin-hye kesal.

"Tidak perlu." Jawab Shin-hye lalu berbalik pergi.

Shin-hwa tersenyum menang lalu mengambil ponsel. "Mwoya?"

"Mengirim pesan ke Shin-ji appa. Dia tidak bisa berjalan kaki untuk pulang."

"Biar aku antar saja."

"Yya! Kau akan meninggalkan ku sendirian disini? Tidak boleh. Lagipula aku sudah menyusun rencana agar kau dan Shin-ji memiliki waktu berdua." Ucap Shin-hwa. Tapi bohong. Tambahnya dalam hati.

"Jinja?" Ji Soo tersenyum.

"Eoh." Jangan harap kau akan benar-benar berdua. Shin-hwa tersenyum menang lagi.

Dalam hati Ji Soo bersorak gembira. Akhirnya...

"Wae? Kenapa kau tersenyum seperti itu? Kau suka? Aigoo... Ayo kita latihan." Shin-hwa pergi ke lapangan dan disusul oleh Ji Soo.

Sementara itu...

Tin... Tin...

Shin-hye berbalik menatap mobil dibelakangnya. "Masuklah!" Perintah orang itu yang tak lain adalah Hae-jin." Kali ini Shin-hye menurut saja karena sudah lelah untuk berdebat.

"Oppa menungguku?"

"Eoh. Tumben kau tidak menolak?"

"Aku lelah."

"Begitu? Baiklah dimana kau tinggal?"

"Ayo ketempat Jung-shin dulu."

"Ani. Aku bilang kau lelah. Lebih baik aku antar kau pulang atau kau kubawa pulang." Shin-hye mengernyit.

"Lurus saja." Hae-jin mengangguk.

"Shin-ah... Ada yang ingin aku tanyakan. Dan aku harap kau jujur dengan pertanyaan ini."

"Mwo?"

"Apakah ayah Shin-hwa adalah Yong-hwa?" Seketika senyap. Shin-hye diam bagitu juga Hae-jin.

"Wae?"

"Mwoga?"

"Kanapa oppa penasaran?"

"Kau tau... Mereka berdua sangat mirip. Bukan, lebih tepatnya sama. Kau tau apa yang aku rasakan saat kita makan siang tadi? Aku merasa seperti kita saat SMA dulu. Kita bertiga. Aku, kau dan Yong-hwa. Kita-"

"Hentikan, oppa. Tolong jangan sebut namanya. Aku muak."

"Wae? Apa kau tau betapa hancurnya Yong-hwa saat tau kau hilang?"

"Dan apa oppa tau yang menghancurkan ku ada Yong-hwa?!" Teriak Shin-hye setengah menangis. Seketika itu juga Hae-jin menghentikan mobilnya.

"Mwo?" Hae-jin menatap Shin-hye tidak percaya.

"Aku... Hiks... Dia... Memperkosa ku dengan paksa dan kasar. Bahkan hiks... Memukuliku... Bilang bahwa aku pelacur rendahan!" Air mata Shin-hye tidak bisa dibendung lagi. "Benar bahwa Shin-hwa adalah anaknya. Namun dia tetap putraku. Dan aku tidak akan pernah membiarkan dia menyentuh putraku!" Hae-jin masih tidak percaya. Mata Hae-jin mulai merah. Marah, kecewa, sedih. Semua ada di kepalanya saat ini.

Hae-jin menarik Shin-hye kepelukanya. Menenangkan adiknya yang rapuh. "Mianhae. Aku salah. Aku tidak akan bertanya lagi. Aku- aku salah. Mianhae." Shin-hye hanya menangis dalam pelukan Hae-jin.

Mengingat masa lalunya yang menyakitkan. Mengingat suatu hal yang seharusnya dia lupakan sejak dulu.

To Be Continued...
_____________________________________
17 Oktober 2020

Ready for flashback??? 🤭🤭🤭

The Killer MotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang