Di penghujung tahun 2010, ada beberapa list yang harus aku selesaikan sebelum pergantian tahun. Satu, kami masih belum dapat basecamp yang pas buat 3D. Mereka berencana untuk hidup bareng di satu atap, dengan satu ruang yang bisa disulap menjadi studio supaya bisa latihan kapan pun. Selain itu, karena lama-lama mereka bertiga sudah seperti saudara sendiri, sudah nyaman satu sama lain. Mungkin kalo aku cowok kita bakal hidup bareng berempat juga kali ya.
Dua, deal dengan penyelenggara festival tahun baru di Altar. Mas Rendi, manager Matte yang ikut menjadi sponsor festival, memperkenalkanku ke EO-nya dan merekomendasikan 3D untuk tampil di festival itu. Tapi EO-nya ini sibuknya minta ampun, lama banget responnya.
Tiga, proker baru untuk divisiku. Singkat cerita, aku masuk anggota BEM prodi Biologi departemen Infokom (Informasi dan Komunikasi). Anak-anak 3D masuk BEM fakultas MIPA. Tara dan Doni masuk anggota departemen Bakmi (Bakat dan Minat), sedangkan Brian, aku gak tau kenapa dia nyasar ke departemen Pengkaderan. Untuk tahun yang baru, kami masing-masing departemen diminta untuk membuat proker untuk satu tahun ke depan.
Di tengah pikiran-pikiran rumit ini, aku dan keluargaku sedang berada di bandara mengantar mbak Bri dan mas Gama berangkat ke Kanada. Mama papa menginap semalam sebelum balik. Dan papa seperti biasa mengagung-agungkan mbak Brisa yang bisa sampai lanjut pendidikan di luar negeri ke kami-kami ini adeknya.
Capek banget sebenernya dibanding-bandingin dan di-brainwash terus supaya bisa mengikuti jejak yang sama seperti kakak pertama. Awal-awalnya gak aku ambil pusing, tapi lama kelamaan aku semakin sensi, aku jadi jenuh mendengarnya. Aku seperti gak bisa menentukan jalan hidup sendiri, seakan-akan semua yang aku pilih pada akhirnya akan salah karena gak sesuai dengan apa yang papa sama mama mau.
Setelah mama papa pamit keesokan harinya, kak Reisa seperti peka akan ke-badmood-an-ku ini.
"Santai aja, omongan papa gak usah dipikir pusing. Yang penting lo lakuin apa yang menurut lo bikin hepi, dan lo bisa pertanggung jawabin itu nanti." Kak Rei ini benar-benar punya sifat yang jauh lebih chill dibandingkan mbak Brisa dan papa yang perfeksionis.
.
.
.
"Gimana, oke kan rumahnya?" tanyaku siang itu ke anak-anak 3D. Aku mendapat info rumah sewa dari Tiya, gak jauh dari kosnya yang siang itu juga kami langsung janjian sama yang punya.
Rumah satu lantai lumayan luas dengan 3 kamar, dan 1 gudang di halaman belakang yang bisa dijadikan studio. Halaman belakangnya juga cukup gede, bisa buat nyate dan kumpul-kumpul. Persis seperti yang kami inginkan. Jaraknya juga gak jauh dari kampus. Masalahnya cuma harga pertahunnya agak di atas budget mereka.
"Ambil sih kata gue," kata Brian yang kemudian disetujui oleh Tara. Dua anak sultan ini sih pada akhirnya oke-oke aja. Cuma Doni yang ragu, karena dari awal dia yang nentuin target budget.
"Jujur aja ya, bro, kalo kurang lagi gue oke. Sorry to say."
Kami berempat berteduh di warkop gak jauh dari sana. Ketiganya sambil produksi asap dan gak lupa sama kopinya. Aku duduk sambil meneguk es teh leci. Mereka bertiga seakan sedang berdebat dalam pikiran masing-masing. Gak ada yang ngomong lagi. Sesultan-sultannya dua member itu, Doni pasti tetap mau dibagi tiga dengan adil. Dia gak mau jadi beban buat kedua sohibnya ini.
"Nanti coba gue nego lagi deh ke si ibu. Kali aja bisa dikurangin dikit." Aku yang sedang mencoba memecah suasana, tapi mereka masih diam. Sepertinya karena gak mungkin lagi si ibu itu mau nurunin harganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARI ALULA [Completed]
RomanceDi setiap lembar buku harian Alula, ada nostalgia dari cerita cintanya selama tiga belas tahun. Bersama dengan lima lelaki berharga yang membentuk pribadinya menjadi perempuan kuat dan mandiri seperti sekarang. Ada Sigit, Brian, Dewa, Jayantaka, dan...