Lembar Empat Puluh Tiga

111 21 31
                                    

November 2017

Hari ini untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Kota Surakarta dan Stasiun Balapan. Walaupun sedekat itu dengan Jogja, gak pernah terpikirkan sedikit pun untukku berkunjung ke kota ini. Mungkin karena vibes-nya yang mirip dengan Jogja, kental dengan adat keraton dan Jawa-nya, jadi aku pikir gak akan jauh beda.

Aku segera memesan ojol ke arah perumahan yang lokasinya masih di sekitaran Universitas Sebelas Maret, universitas negeri kebanggaan Solo. Dari map sih letaknya gak jauh dari Stasiun Balapan. 

Solo siang itu sangat terik, dan sepertinya jalurku ke sana memang jalur macet, jalur stasiun-kampus. Alhasil keringat segede jagung mulai bermunculan di jidat lebarku ini sepanjang perjalanan. Tau gitu tadi order taksi online.

Kenapa Indonesia bisa sepanas ini ya? Even Kaliurang pun yang termasuk daerah dataran tinggi sudah mulai berasa neraka bocornya. Rasanya ingin balik ke Kanada, atau mana pun lah selain Indonesia atau selain negara tropis. 

Kan, mulai lagi gue songongnya.

Udara panas ini sama panasnya dengan kalimat papa ditelepon minggu lalu yang membuatku naik darah lagi. "Udah tiga bulan lebih kamu nganggur! Papa bilang juga apa, dulu kamu itu harusnya ambil S2 biologi, fokus aja di biologi kayak mbakmu yang sekarang udah kerja di perusahaan lingkungan terbaik!"

Aku menghela napas panjang lagi. Dikira papa aku ongkang-ongkang kaki aja apa ya di kamar? Semenjak tau aku bakal balik Indo juga aku sudah berusaha apply kerja di mana-mana. Tapi mentok cuma sampai interview, atau lebih seringnya lagi janjian interview via Skype, namun sudah ku tunggu-tunggu satu jam di depan layar laptop lalu gak ada kabar lagi. Ya aku anggap saja belum rejeki.

Dengan mendengar papa marah-marah seperti itu, siapa yang gak semakin stres dan kepikiran? Rasanya hidupku semakin gak guna. Alasan lelah hati itulah yang membuatku sengaja gak ingin pulang ke rumah papa mama dan lebih memilih di Jogja daripada harus mendengar ceramahnya setiap hari.

Di tengah perjalanan, ada pesan masuk dari Tiya. Dia mengirimkan sebuah foto yang langsung ku download saat itu juga.

Tiya Kumala

Rezky minggu depan nikahan nih. Undangannya di gue ya

Rezky adalah teman sekelompokku KKN yang juga kenal baik dengan Tiya. Aku ikut senang, tapi sedikit mengeluh. Ya Tuhan, jodohku di mana sihhhh, aku mau nikah ajaaaaa. Batinku menjerit. Baru tiga bulan di Indonesia, entah sudah berapa undangan pernikahan yang sudah aku datangi. Dan pertanyaan 'kapan nyusul' selalu dilontarkan di hadapanku dengan entengnya. Kalau sudah muak rasanya ingin ku sembur kuah zuppa soup.

Ojek online yang ku bonceng berhenti di satu rumah sederhana, dengan spanduk 'Rumah Belajar Mr. Sis' di depannya. Pak Sis ini adalah kenalan papa yang lulus pendidikan S2 dan S3-nya di Jepang. Beliau membuka rumah belajar untuk para mahasiswa atau calon mahasiswa yang ingin melanjutkan kuliah di Jepang. Istri, adik-adik almamaternya S1 di Indonesia dulu, dan banyak muda-mudi lainnya yang telah beliau bantu carikan kampus, profesor, dan beasiswa yang tersedia di Jepang.

Dedikasinya sangat tinggi. Beliau tidak meminta imbalan sepeser pun, melainkan bagi para pencari kampus yang datang ke rumah Pak Sis ini, diminta untuk mengajari anak-anak setiap weekend sebagai gantinya. Mulai dari anak SD sampai SMA yang kesulitan belajar, baik dari Bahasa Inggris, Matematika, maupun mapel-mapel lainnya.

Dan, ya ... aku kemari atas suruhan papa. Siapa tau aku jadi tergugah untuk melanjutkan S2 di negeri sakura itu. Untuk saat ini aku hanya bisa mengikuti mau papa. Ya lagi-lagi karena aku jobless juga, jadi gak ada alasan untuk menolak. Dan kalau ternyata ada kesempatan juga mungkin aku akan sangat senang bisa segera lepas dari negara yang panas ini. Coba dulu, ya kan?

DIARI ALULA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang