Lembar Tiga Puluh Empat

121 23 18
                                    


Satu minggu lainnya aku lewati masih tanpa Brian. Terakhir 3D nge-gig di Matte, aku langsung pulang sengaja menghindar darinya. Walaupun lagu yang dia buat dan dinyanyikannya malam itu masih terngiang di kepalaku.

I hate you more because I can't hate you. Iya, sejahat apa pun mulut Brian waktu itu, aku gak bisa benci sama dia, dan aku benci itu.

Malam ini ada acara Night Music di kampus. Tentu saja 3D ada di list bintang tamu. Dan sejujurnya aku rindu Brian setengah mati, jadi aku harus melihat penampilannya.

"Kok cuma berdua?" tanyaku ke Doni yang datang dengan Tara.

"Brian sama puput."

"Oh. Bawa lagu apa kalian?"

"Kayak kemarin di Matte. Sama Brian ada lagu baru lagi tuh," jawab Tara.

"Brian tiap galau ada aja lagu baru. Lo bener-bener menginspirasi ya, La, haha," celetuk Doni.

Hmm ... lagu galaunya udah seabrek sendiri. Nanti kalau udah terkenal beneran, gue yang disalahin fansnya nih. Brian who hurt you?



~ I guess this is what they call a habit

In an empty room with no one inside

I'm waiting for you to return


My hand habits that touched you, my hand habits toward you

My mouth habits that called you, my mouth habits for you


I'm calling out to you in the empty air

I'm beckoning to find you

You became my habit

Became my habit ~*



Lagunya kali ini bertempo cepat. Bukan mellow ballad lagu galau pada umumnya. Yang gak dengar liriknya, fix bisa ketipu sama tema galaunya. Argh, kenapa lagu Brian selalu bagus sih. Bikin aku balik jatuh cinta lagi sama dia.

Sepulang acara, aku mengikuti Brian di belakangnya dengan jarak yang lumayan jauh. Dia gak menyadari keberadaanku. Sengaja, supaya dengan tenang aku bisa memperhatikan langkah kakinya yang setengah ragu itu. Sampai di vespanya pun dia berdiri sejenak. Menatap helm di jok belakangnya yang biasa aku pakai. Aku tau dia kangen. Aku tau dia gak mau pisah. Aku yakin 100% karena hampir setiap hari aku di sebelahnya selama empat tahun ini. I know him too damn well. He's waiting for me to return. As what he said in his song.

"Anterin gue balik, yonk. Gue gak bawa mobil," kataku yang sedikit mengejutkannya. Salah satu dari kami harus ada yang mengalah, kan?

"Kenapa gak bawa?"

"Biar bisa lo anterin pulang," jawabku dengan tenang. "Gue tau lo juga mikir hal yang sama," ucapku sambil menunjuk ke arah helm di joknya. Kalau dia gak berniat apa-apa, ngapain bawa-bawa helm dua? Ngapain bawa puput sendiri daripada berangkat bareng Doni Tara?

Dia tersenyum tipis, mengakui kehebatanku membaca pikirannya, mengakui kalau perasaan yang ditutup-tutupinya ketauan olehku dengan mudahnya. Aku tersenyum simpul melihatnya dan segera memasang helm yang bisa ku klaim sebagai helmku itu.

"Yuk," ajaknya setengah dingin.

Aku dengan senang hati membonceng dan memasukkan tanganku ke dalam saku jaketnya. Kebiasaan yang ku lakukan setiap memboncengnya. Sepanjang perjalanan kami gak berkata apa-apa. Angin malam yang meniup rambutku seakan membawa kembali ke ingatan masa-masa pdkt kami.

DIARI ALULA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang