Semenjak sore tadi sampai malam begini, aku dan Tiya masih duduk di halaman belakang kos tempat kami biasa mencuci dan menjemur baju. Di sini hening. Kami bisa sambil menjernihkan pikiran mengenai kejadian sore tadi yang sejujurnya masih membuat kami shok. Siapa yang sangka, kami berteman sekelas dengan Yolanda sudah dua tahun, tapi gak pernah sedikit pun dia menunjukkan sisi gelapnya yang ini. Bisa ku sebut klepto kah? Secara benda-benda yang dia simpan adalah barang yang gak begitu bernilai. Tapi, kenapa?
BRAK!
Lagi-lagi aku mendengar suara gebrakan pintu kamarku, yang padahal kamarku jauh di depan sana tapi suaranya terdengar sampai ke belakang sini. Aku dan Tiya spontan melihat ke arah dalam rumah, Yolan dengan mata sembabnya sedang berada di sambungan telepon. Sepertinya dari tadi dia menangis, aku masih mendengar suara isakannya.
"MI! Ini mi Alula sama Tiya yang nuduh aku nyolong!" ujarnya sembari memberikan ponselnya kepadaku dengan kasar.
"Mana mereka??" suara telepon yang aku yakin maminya membuatku langsung mengambil ponselnya. Dengan harapan maminya akan menjadi penengah dari masalah Yolan ini. Iya, ini gak bisa dibiarkan. Kalau memang ternyata psikisnya yang sakit, harus segera ditangani.
"Halo, tante. Ini Alula."
"Ini Tiya, tante."
Kami loudspeaker teleponnya. Dan semakin shok mendengar respon dari maminya.
"Berani-beraninya ya kalian nuduh anak saya pencuri! Kalian gak tau siapa saya?? Kalian gak tau siapa suami saya?? Papanya Yolan itu lurah di daerah kami!"
Hing. Aku dan Tiya saling melempar pandang mendengar kalimat maminya terakhir.
"Sebelumnya kami mau minta maaf, tan—" Dengan setengah shok, aku mengatur napasku menahan emosi.
"—bukan maksud kami menuduh Yolan pencuri. Tapi saya menemukan barang-barang saya dan penghuni kos la—" ucapanku yang belum selesai ini langsung disanggah olehnya.
"Gak usah geer ya kalian! Kalian pikir saya gak mampu buat belikan barang-barang murahan itu ke anak saya??"
"Maaf-maaf nih ya, tan. Kalo tante dan keluarga lurah tante itu mampu, ngapain ngambil celana dalem orang lain??!" Tiya mulai ngegas. Aku tarik ujung bajunya mengisyaratkan untuk jaga omongan.
"EH, kurang ajar ya kalian ini! Kalian gak tau siapa abangnya Yolan?? Dia Taruna, TNI Angkatan Darat! Berani kalian macem-macem??" mami Yolan lebih ngegas lagi.
Dari cara meresponnya, aku sudah yakin ini gak akan ada ujungnya. Untuk apa memamerkan jabatan yang bukan dia punya? Aku merasa Yolan dan maminya hanya berlindung di balik jabatan-jabatan yang bagi mereka itu besar. Tanpa mereka sadari, di atas lurah masih ada jabatan tinggi lainnya, dan di atas taruna pun masih banyak tingkatan lebih tinggi lagi, tapi sudah berani menyombongkan diri sampai-sampai enggan untuk mengakui kesalahan.
"Tante, kami hanya berharap Yolan bisa mengakui dan menyadari —"
Dan lagi-lagi omonganku dipotongnya.
"Sekali lagi saya katakan anak saya bukan pencuri!! Yolan?? Mana kamu, nak? Gak usah kamu berteman lagi sama dua orang ini!"
Ponsel Yolan yang ada di tanganku langsung dirampasnya dan dia kembali ke kamar lagi.
BRAK!
Aku dan Tiya hanya bisa tercengang, bersama dengan penghuni kos lain yang tadinya mengintip dari pintu kamar masing-masing, kemudian keluar menghampiri kami. Kami pun mengadakan rapat dadakan tanpa Yolan, karena dia tetap gak mau keluar. Sudah kuketuk pintu kamar beberapa kali pun, Yolan masih enggan membukakannya. Sial, tidur di mana gue tar malem woy?! Tapi, bagaimana pun juga sebagai teman yang datang bareng dari Jogja, aku dan Tiya mewakili Yolan meminta maaf dan mengembalikan barang-barang ke pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARI ALULA [Completed]
RomanceDi setiap lembar buku harian Alula, ada nostalgia dari cerita cintanya selama tiga belas tahun. Bersama dengan lima lelaki berharga yang membentuk pribadinya menjadi perempuan kuat dan mandiri seperti sekarang. Ada Sigit, Brian, Dewa, Jayantaka, dan...