Februari 2018
"Gua rasa bulu mata lo ada susuknya deh, La. Coba tanyain ke mama lo."
Aku menyeruput pesanan iced coffee-ku seperti biasa, setelah bercerita panjang lebar tentang Wisnu ke Tiya. Aku menemaninya membuat orderan pelanggan di kursi bar.
Canopus pagi menjelang siang ini belum begitu ramai. Beberapa yang datang aku pastikan anak kuliahan pejuang skripsi atau para freelancer, macam aku ini.
"Dulu Brian baru ketemu berapa hari udah nembak. Ini si Wisnu juga, baru ketemu berapa kali, well, ini lebih berat lagi sih levelnya, ngajak nikah." Ujarnya sembari menyiapkan cangkir. "Pesanan Green tea latte—"
Aku belum merespon apa-apa. Memastikan customer mengambil orderannya dulu, memastikan Tiya bisa aku ajak bicara dengan 100 persen fokus.
"Sekarang ini lagi musimnya kok, Yak, jodoh ketemu sebentar. Kayak Laudya Cynthia Bella tuh, pacaran tiga bulan doang terus nikah sama Engku Emran," kataku mengingat-ingat nama yang bisa aku ajukan di acara adu argumen bersama Tiya ini.
"Atau lo inget Tiwi temen KKN gue yang kemarin pas nikahannya Rezky lo sempet ketemu? Dia baru kenal sama suaminya dua bulan doang lho di tempat kerjanya! And you know what? Dia bilang lebih seru pacaran setelah nikah. Dan sekarang malah dia yang jadi bucin sama suaminya."
Sambil mengelap meja bar, Tiya membantah perkataanku, "Tapi lo bukan Laudya Cynthia Bella, dan lo bukan Tiwi."
"Hmm ... Dulu gue pas sama Brian juga gitu. Berujung gue yang cinta beneran dan bucin beneran sama dia." Aku masih gak mau mengalah. "Lo doain ajalah, Yak, semoga pengumuman Wisnu siang ini lolos."
"La. Bentar. Sekarang gue tanya dulu. Jadi lo tuh sebenernya mau nikah sama Wisnu, atau mau ke Jepang-nya sih?"
Pertanyaan Tiya ini benar-benar menyindirku.
"Alula, dengerin gue. Menikah dengan Wisnu, dan ke Jepang, adalah dua hal yang berbeda."
Aku masih gak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Tiya. Ya aku tentu mau menikah, dan aku anggap ke Jepang adalah bonus.
"Gak, gue ralat. Menikah, Wisnu, dan Jepang, adalah TIGA hal yang berbeda, La."
Aku sengaja mendiamkan perkataannya barusan. Tiya ini seperti gak tahu kata peribahasa, 'sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui'.
"Sekali lagi gue ingetin ya, La. Menikahlah ketika lo udah siap lahir batin. Bukan karena diburu-buru lingkungan. Menikah itu bukan akhir, justru awal dari level kehidupan yang lebih tinggi lagi. Lo yakin baru kenal dua bulan doang dan dengan begitu saja siap menerimanya seumur hidup? Kalo emang segampang itu, cuma demi menutup telinga dari orang-orang sekitar, udah dari kapan tau gue nikah sama Marcel."
Tiya dan Marcel, sejoli sesama pecinta kopi. Sudah dua tahun ini mereka pacaran, setelah sekian lama Tiya putus dari pacarnya yang dulu. Keduanya berada di aliran yang sama, kalau bisa gak nikah, mereka ada di barisan paling depan. Bagi mereka kehidupan setelah menikah itu ribet, bahkan mereka adalah tim yang gak mau menambah-nambahi populasi manusia di bumi dengan harus melahirkan anak gak berdosa di kehidupan yang serba rumit ini. Tentu saja pemikiran mereka gak masuk di kepalaku. Punya anak banyak yang lucu-lucu dan menggemaskan adalah salah satu cita-citaku. Mungkin Tiya bukan orang yang tepat untuk aku ajak bicara mengenai hal ini. Kami berdua memiliki prinsip yang sangat berbeda.
"Seberapa yakin juga lo kalo Wisnu pasti keterima? Misal-misalnya nih, belom rejeki, apa lo yakin masih mau menikah sama dia dan hidup di Indo, bukan di Jepun?"
Aku terdiam sebentar lalu reflek komat-kamit mengamit-amiti perkataan misal-nya Tiya itu. Amit-amit gak rejeki, amit-amit.
"Ya gue pasti ngedoain yang terbaik buat lo, La. Apa pun itu yang bikin lo bahagia jiwa dan raga. Gue cuma gak mau pilihan terburu-buru lo ini bikin lo nyesel di kemudian hari."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARI ALULA [Completed]
RomanceDi setiap lembar buku harian Alula, ada nostalgia dari cerita cintanya selama tiga belas tahun. Bersama dengan lima lelaki berharga yang membentuk pribadinya menjadi perempuan kuat dan mandiri seperti sekarang. Ada Sigit, Brian, Dewa, Jayantaka, dan...