Semaleman aku gak bisa tidur tenang memikirkan keadaan Brian. Dia gak pernah merespon BBM-ku, bahkan dia melarang Doni untuk mengabariku. Aku hanya mendapat update dari Tara yang bisa curi-curi waktu untuk membalas BBM-ku. Well, now I'm scared ...
"Pak, gue ijin ke kampus lagi siang ini, boleh?" tanyaku ketika sarapan dengan ketua kelompokku yang udah biasa kami panggil dengan sebutan pak ketu.
"Ada keperluan apa, La? Gak nanggung sekalian berapa hari lagi juga kita dah di Jogja?"
"Mmm, ada berkas yang harus gue urus ke TU—" jawabku asal. Ya sebenarnya mau ke Jogja nemuin Brian.
"Hmm ... terus lo absen ngajar lagi dong?"
"Mmm, besok gue bantu piket pagi deh sebagai gantinya, yaa?" rayuku.
"Bener yaa?? Ya udah asal jangan balik kemaleman."
"Thanks pakkk! Siap! Oh ya, sekalian gue mau minjem motor lo boleh ya. Lagi males mobilan nih."
"Ya asal diisiin bensin. Haha. Kidding."
Dan akhirnya aku pun bela-belain lagi balik ke Jogja demi ketemu Brian. Jogja sedang panas-panasnya. Tapi aku yakin sorean nanti pasti adem, makanya aku maksa untuk motoran.
Pintu basecamp terbuka lebar, mobil Brian ada di luar, dan vespanya terparkir di ruang tamu. Menandakan dia di rumah dan gak ke mana-mana. Aku masuk tanpa permisi seperti biasanya. Melihat Brian lengkap dengan asap rokoknya di halaman belakang rumah. Aku mengambil napas dalam-dalam demi menenangkan perasaan takutku.
"Yonk? Masih sakit?"
Kehadiranku ternyata lumayan mengejutkannya. Tapi keberadaanku seperti gak dia harapkan. Aku reflek mencoba memegang perban di kepalanya, namun dia lagi-lagi mengelak. Ingin rasanya aku menangis, tapi kutahan.
"Lo ngapain ke sini?" tanyanya dingin.
"Lo ... kenapa?" tanyaku ragu. Aku benar-benar di posisi takut salah ngomong. Apalah aku ini kalau lawanku Brian yang tukang ngomong ...
"Lo masih tanya kenapa?" sentaknya, "Lo sadar gak sih kita banyak banget bentroknya?"
Aku terdiam. Andai dia sadar itu permasalahanku sejak awal dulu. Kita sebenarnya sangat banyak gak cocoknya dari segi mana pun. But I love him. I just love him.
"Apa yang ada di pikiran lo kemarin waktu tau gue luka karena ngedemo? Lo pasti puas kan gue celaka karena gak dengerin omongan lo?"
"Yonk?!!" bentakku. Siapa yang menyangka omongan seperti itu keluar dari mulutnya.
"Ah, dari awal juga udah gue bilang gak suka lo demo-demoan," ucapnya seolah-olah itu menggambarkan apa yang ada di batinku, "Ah, gue udah pernah bilang gak suka liat lo ngerokok, tinggal nunggu waktunya aja lo kena infeksi paru-paru karena gak dengerin omongan gue," lanjutnya lagi dengan nada bicaraku.
"Yonk ...?!" panggilku lirih sebisa mungkin menahan tangisku keluar. Berharap dia berhenti berkata-kata seperti itu.
"Apa lagi yang lo gak suka dari gue? Tukang begadang? Gue orang Sunda? Temen-temen aliansi gue? Kuliah gue? Celana sobek-sobek gue?? Apa lagi coba bilang ke gue!"
Lagi-lagi aku diam. Aku diam karena aku tau bila ada kata yang keluar dari mulutku, hanya akan berlanjut dengan tangis yang gak berhenti.
"Lo tuh kalo di chat doang selalu ngetik panjang kali lebar. Tapi setiap lagi kayak gini, lo cuma bisa nangis aja. Bingung gue."
Shit. Aku benci mendengar kata-katanya. Aku mulai memicingkan mataku, tanda aku terganggu dengan omongannya. Terlebih melihat dia yang kemudian sibuk dengan ponselnya dan membalas BBM dari teman-temannya. Sedangkan BBM-ku dari kemarin gak digubrisnya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARI ALULA [Completed]
RomanceDi setiap lembar buku harian Alula, ada nostalgia dari cerita cintanya selama tiga belas tahun. Bersama dengan lima lelaki berharga yang membentuk pribadinya menjadi perempuan kuat dan mandiri seperti sekarang. Ada Sigit, Brian, Dewa, Jayantaka, dan...