Lembar Tiga Puluh

131 22 10
                                    


2013

Beberapa hari ini hujan seperti gak henti-hentinya mengguyur Jogja. Dengan kondisiku yang lagi sering praktikum dan kejaran laporan yang seeabrek, badanku sepertinya mulai menyerah. Aku terbangun dengan kepala pening dan badan menghangat. Sesekali juga bersin dan hidung mampet. Duh, pake sakit pula. Aku kembali tidur dan memilih bolos kuliah dua makul hari ini ... kalau Tiya gak memungkinkan untuk memalsukan absensiku maksudnya.

Toktoktok.

Aku terbangun mendengar suara ketukan pintu luar. Dengan mata setengah terbuka aku melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi. Hufff, siapa sih ganggu orang tidur aja. Mana kepalaku masih pening. Aku pun terpaksa keluar membuka pintu karena kak Rei gak di rumah sampai malam nanti.

"Yonk?!"

Sosok laki-laki itu tersenyum dengan manisnya di depan pintu rumahku. Sepertinya dia baru balik kuliah. Punggung tangannya langsung diletakkan di dahiku.

"Yank, ini panas banget. Yuk ke dokter," paksanya.

"Minum paracetamol aja deh," jawabku enggan ke dokter. Brian mengerti kegelisahanku akan dokter dan rumah sakit. Kuatir dan parno penyakit aneh lain lagi kalau periksa tuh.

"Kan gue temenin," ajaknya dengan lembut, selembut usapan jarinya di rambut-rambutku.

"Gue belum mandi tapi, yonk," kataku pelan sedikit ngeles.

"Gue gak ngajak kencan, cuma ngajak ke dokter." Usapan lembutnya beralih jadi jitakan.

"Ak!"

Aku pun akhirnya keluar dengan hoodie oversize-ku setelah cuci muka. Brian sudah menunggu di dalam mobilnya. Iya, sekarang Brian bawa mobil sendiri. Terakhir dia mudik, sekalian ambil mobilnya karena si puput mulai reseh dan Brian gak sempat merawatnya secara rutin. Ribetnya mengurus puput lebih ribet ketimbang mengurusku ternyata :)

Di ruang tunggu, aku menyenderkan kepalaku yang masih berat di bahu kanan Brian. Tangan kiriku digenggamnya lembut dengan dua tangannya, sedangkan tangan kananku mengangkat telfon mama yang terdengar kuatir aku tumbang.

"Ini ditemenin Brian kok, ma. Kalo sendirian adek juga gak kuat."

"Nanti mama telfon kak Rei. Adeknya sakit, tinggal serumah, kok gak tau."

"Gak usah, ma. Gak papa. Kak Rei kan lagi sibuk. Ini paling sampe rumah juga tidur lagi."

"Alula Kanya," panggil suster. Brian menyenggol lenganku.

"Ma, udah dulu ya, udah dipanggil." Aku pun mematikan telepon mama sambil berjalan menghampiri ruangan yang dipersilakan suster tadi. Setelah diperiksa, untungnya gak ada gejala aneh apa-apa. Hanya demam flu dan darah rendah yang membuatku tambah lemas. Aku lega mendengarnya.

"Mampir beli bubur dulu ya. Dimakan di rumah aja," usul Brian di perjalanan pulang ke rumah. Aku cuma bisa mengangguk lemas. Gak yakin juga aku bakalan makan banyak, lagi gak nafsu.

"Yonk, hari ini gak ada kelas lagi apa?" tanyaku memastikan.

"Mmm ... sebenernya ada sih, tapi udah nitip temen absenin kok, hehe," jawabnya enteng.

"Hmh, dasar."

"Gue gak suka makulnya, yank." Perkataannya ini terdengar sedikit serius. Dia menghela napas panjang, seperti akhirnya lega bisa mengungkapkan apa yang dia rasa.

"Pas gue pulang ke Bandung kemarin, papi maksa gue lagi buat ambil Bisnis Administrasi. Gue pindah aja apa ya, yank?"

Brian ... pala gue lagi mumet dibikinnya tambah mumet aja ...

DIARI ALULA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang