Lembar Tiga Puluh Enam

131 23 13
                                    


Januari 2015

Aku keluar ruangan sidang dengan hati campur aduk. Lega, bahagia, setengahnya lagi masih deg-degan mengingat apa yang terjadi selama satu setengah jam barusan. Ujian skripsiku berjalan lancar, dan beruntungnya aku mendapat dosbing yang baik hatinya yang menjadi tamengku ketika dosen penguji killer lain memberiku pertanyaan yang sepertinya lebih cocok ditanyakan untuk ujian tesis.

Tiya dan tentunya teman-teman kelas biologiku yang setia menungguku sedari awal masuk tadi, menyelamatiku satu per satu. Aku termasuk 10 besar yang lulus duluan di prodi angkatanku. Boleh bangga kan? Ya sekaligus cemas sih setelah ini aku jadi pengangguran, dan gak lagi bisa dapat promo-promo mahasiswa.



Oyong

Gue di kantin sama Doni



Aku buru-buru mengundurkan diri untuk menemui Brian. My moodbooster, I need you right noowww. Batinku berteriak sambil mempercepat langkahku. Dari jauh tempat duduknya, Brian merentangkan kedua tangannya siap menyambut pelukanku.

"Gue luluuuusssss!"

"I know. Congratulation, yank. I'm proud of you."

Doni berdehem melihat kami berpelukan di depannya.

"Semoga kalian cepet nyusul gue juga ya, guys!" doaku.

"Amiinnn," sahut mereka berbarengan.

.

.

.

"Cieehh, ada nama gue di ucapan terima kasih skripsi Alula. Terharu deh gue," ucap Tiya dengan bangganya melihat skripsiku yang akhirnya jadi. Untunglah gak banyak revisi. Cukup sekali dan langsung bisa cetak untuk dikumpulkan sebagai persyaratan wisuda.

"Ya harus dong. Kan lo yang nemenin gue terus dari hari pertama nginjek kaki di kampus," jawabku, "Semoga penelitian lo juga cepet kelar ya, Yak, dan segera nyusul gue lulus."

"AMIIINNNNNN," serunya. "Btw, kok gak ada nama Brian, La?"

Aku terdiam karena pertanyaannya.

"Mmm ... ya kan dia belum tentu sama gue sampe nikah, Yak. Kalo ternyata gak jodoh, kasian suami gue ntar kalo liat. Eh, tapi gue tulis 3D kok di situ," kataku seraya menunjuk poin di bawah poin ucapan ke anak-anak kelas.

"Hmm ... bijak juga lo."

Aku membalasnya dengan cengiran.

"Tapi, bener ini emang lo bijak aja? Bukan karena alasan lain?" tanyanya lagi.

Aku menghela napas. Sejujurnya aku takut akan hubungan kami yang sekarang. Aku sedikit ragu, apakah dia benar-benar akan menyelesaikan masa kuliahnya dengan baik atau tidak, apalagi nantinya gak akan ada aku lagi di sebelahnya. Kurang dari tiga bulan aku berangkat ke Kanada bersama dengan kedua orang tuaku. Semua visa, tiket, dan lainnya sudah siap, tinggal tunggu tanggal berangkat. Dan sayangnya sejauh ini kami gak pernah lagi berani membahas tentang LDR, apalagi masa depan. Iya, kami sepengecut itu.

.

.

.

Hari wisudaku tiba di penghujung bulan Maret. Perasaanku sungguh sangat campur aduk. Dari bahagia, akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliah dan skripsiku dengan baik, hingga perasaan kacau, karena Brian malam tadi ketika aku sudah tidur, mengirim BBM yang berisikan dia gak bisa hadir ke wisudaku hari ini tanpa memberi alasan.

"Dek, mama papa tunggu di mobil, ya." Semakin terik, mama pamit duluan ke mobil. Setelah ini kami ada appointment dengan photo studio di daerah Tamsis.

DIARI ALULA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang