Lembar Empat Puluh Tujuh

105 23 18
                                    

Ini kali ketigaku menggunakan transportasi kereta api. Pertama dan kedua ketika berangkat pulang Jogja-Kediri-Jogja enam tahun yang lalu. Dan saat ini, perjalanan kembaliku ke Stasiun Tugu Yogyakarta dari Gambir. 

Aku baru saja menyelesaikan tahap interview terakhir di start up company di bidang edutech yang sedang ramai-ramainya di Indonesia. Responnya baik. Aku punya feeling bagus bisa mendapat posisi sebagai administrative staff di sana.

Wisnu masih belum tahu kalau aku ikut wawancara ini. Mungkin akan aku ceritakan nanti kalau benar-benar keterima saja. Mengingat ternyata dia keberatan kalau aku bekerja. Begitu yang terungkap dari kata-katanya terakhir kita bertemu.


"Kalau kamu kerja ... kita kapan nikahnya?"


For God's sake, aku ingin menarik kata-kataku dulu yang ingin menikah segera. Aku ingin menarik kata-kataku dulu yang menganggap menikah adalah jawaban dan jalan satu-satunya untukku melarikan diri dari kegelisahan-kegelisahan hidupku. Aku ingin berkarir. Aku juga ingin punya cita-cita. Aku ingin bekerja kantoran dengan passion-ku. Aku ... 

... aku belum siap menikah. Aku terlambat sadar kalau menikah ternyata bukan solusi dari masalah hidupku.

Aku memeluk Tiya dengan erat sesampainya di Canopus. Aku butuh dipeluk, dan butuh disadarkan dari pikiran-pikiran sempitku kemarin. Tiya benar. Harusnya dari awal aku mendengarkan kata-katanya, bukan malah beradu argumen.

"It's okay, La. Yang penting buat kedepannya lo belajar dari kealpaan lo," katanya menenangkanku.

Tiya, Fathia Kumala, gue gak tau kalau di hidup gue gak ada lo sebagai sahabat gue akan jadi apa gue sekarang.

.

.

.

Maret 2018


"Halo, ma? Lagi ngapain?"

"Lagi masak soto ini. Tiap masak soto mama selalu inget sama kamu. Sudah makan belum?"

"Mmm, belum. Ma—"

"Kenapa, dek?"

"Ma, adek keterima kerja di Jakarta. Senin depan udah harus masuk. Jumat ini adek berangkat."

"Alhamdulillaaahhh ... di tempat adek terakhir wawancara itu?"

"Iya, ma. Yang adek bilang memang pingin banget."

"Mama ikut senang, dek, akhirnya."

"Ma, papa ... gimana?"

"Ya pasti papa ikut senang lah dek. Nanti mama bilangin. Eh atau adek aja yang bilang ke papa."

"Nggak, ma. Mama aja yang bilang. Adek mau mulai packing dulu."


Dulu mama yang lebih sering 'menyetirku' harus ke mana, ambil jurusan apa, gak boleh ini, gak boleh itu. Tapi semenjak kuliah, mama lebih santai dan membebaskanku. Mama seperti mulai menyadari kalau aku sudah besar dan bisa menentukan jalan hidupku sendiri. 

Kebalikan dari mama, entah kenapa papa justru semakin vokal dan semakin banyak menuntutku. Mungkin karena semakin ke sini aku semakin 'berani'? Jadi papa merasa gak dihormati oleh anak bungsunya? Atau karena semakin ke sini hidupku semakin gak jelas, jadi papa merasa bertanggung jawab atas hidup anak bontotnya ini? Entahlah, hanya papa dan Tuhan yang tahu karena setiap kami bertemu lebih sering bentroknya daripada bicara dari hati ke hati.

DIARI ALULA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang