Lembar Empat Puluh Delapan

122 25 29
                                    

Juni 2019


Rutinitas pagi hariku selalu dimulai dengan vcall bersama mama yang pastinya hanya sebentar, karena ponsel pintar mama selalu langsung beralih ke Ben yang sibuk memamerkan rangkaian Lego-nya menjadi bermacam-macam model dinosaurus, atau Mia yang memamerkan gambarnya lengkap dengan narasi ceritanya. Sesekali juga Mbak Brisa curhat mengeluh betapa mualnya dia di kehamilan anak ketiganya yang diperkirakan HPL-nya tiga bulan lagi.


Iya, mama papa sekarang di Kanada. Tepatnya sekitar satu tahun yang lalu, setelah papa pensiun. Mama dan papa memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di sana bersama cucu-cucu kesayangannya. Waktu itu, mereka sengaja berangkat ke Kanada dari Jakarta, supaya bisa menjengukku dulu setelah tiga bulan aku menjadi pekerja kantoran.

Booking-an kamar hotel untuk dua malam yang sudah aku pesan terpaksa aku batalkan dan untungnya bisa di-refund. Karena mama dan papa bersikeras untuk stay di kamar kosku, mau tahu kebiasaanku sehari-hari katanya, dan supaya lebih hemat. Beruntung aku tinggal di kos exclusive dengan fasilitas terbaik. Gedung empat lantai yang luas dengan kolam renang dan tempat bersantai di rooftop-nya. Sekuriti dan CCTV pun ada. Kamarku bahkan cukup luas untuk mereka datangi bersamaan dengan tiga koper besar mereka. Jadi mama papa gak perlu khawatir meninggalkanku sendiri di Indonesia karena aku tinggal dengan aman dan nyaman di sini.

Malam terakhir mereka di Jakarta, ada rahasia terungkap dari mulut mama yang akhirnya menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Papa sudah tertidur di sebelah kanan mama dengan pulasnya setelah seharian mengelilingi Jakarta. Aku tidur di kasur tambahan di bawah sebelah kiri mama. Lampu utama sudah ku matikan. Kami sebenarnya memang sudah bersiap untuk tidur.

"Adek ingat sewaktu lulus SMP dulu ngerengek-rengek minta SMA di luar kota juga seperti kakak-kakakmu?" tanya mama yang masih terjaga.

Ah, bagaimana bisa ku lupa kejadian itu. Salah satu kejadian yang gak akan aku lupakan seumur hidup, ketika aku merasa mama papa gak adil dengan hidupku. Aku harus 'terpenjara' di kota kecil, menghabiskan hari-hari kecilku dan SMA di sana, dan jadi punya cerita mengenaskan dengan Kak Sigit. Hmm ...

"Maafkan mama papa ya, dek. Waktu itu, papa ditipu sama sepupunya—"

Deg.

What did I just hear?

"— papa jadi berhutang, dan mama papa gak sanggup untuk menyekolahkan adek di luar kota seperti Mbak Brisa dan Kak Rei. Keuangan papa, bahkan mama, terpaksa menjual tanah warisan untuk bayar kuliah mbak sama kakakmu."

Hening. Mataku mulai basah.

"Maaf ya mama jadi cerita begini. Mama cuma gak mau adek jadi salah paham dan jadi benci sama mama papa. Setelah keadaan mulai membaik, dan mama papa melihat mbakmu berhasil, mama papa jadi terkesan memaksa adek untuk mengikuti jejak Mbak Brisa. Untuk memastikan adek punya masa depan yang berhasil seperti Mbak Brisa, adek kuliah setinggi-tingginya juga jadi keinginan mama papa sebagai ganti adek gak bisa sekolah di tempat yang adek mau dulu waktu adek minta ..."

Oh Tuhan, aku merasa selama ini sudah menjadi anak durhaka yang gak tahu diuntung karena sering berselisih dengan orang tuaku dan sempat berpikiran negatif dan gak adil.

"Adek harus tau, papa gak bermaksud membandingkan adek sama Mbak sama Kak Rei. Kamu juga anak mama papa yang pintar, baik, nurut, gak neko-neko. Papa walaupun agak keras sama kamu, tapi papa bangga sekali sama kamu, dek. Sewaktu mengantar adek kerja tadi, papa sampai nangis, terharu katanya adek bisa kerja di tempat bagus dengan kemampuan dan usaha adek sendiri. Adek berhasil, dengan cara adek sendiri."

DIARI ALULA [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang